Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mendobrak business-as-usual di lingkup bisnis

Di berbagai belahan dunia, social enterprise telah berkembang menjadi salah satu alternatif untuk menjembatani jurang antara dunia bisnis dan sosial.  Salah satu kritik terbesar atas aktivitas bisnis adalah permasalahan mendasar yang ada dari tujuan

Di berbagai belahan dunia, social enterprise telah berkembang menjadi salah satu alternatif untuk menjembatani jurang antara dunia bisnis dan sosial.  Salah satu kritik terbesar atas aktivitas bisnis adalah permasalahan mendasar yang ada dari tujuan didirikannya sebuah entitas bisnis.

Dalam berbisnis, hampir semua pengusaha memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan (profit). Berbagai usaha (antara lain cost reduction dan revenue increase) dilakukan untuk meningkatkan profit yang dapat diperoleh sebuah perusahaan. Di berbagai belahan dunia CEO diberikan reward yang berlipatganda ketika ia sanggup untuk memberikan profit yang tinggi kepada para pemilik perusahaan.

Yang kemudian menjadi permasalahan adalah dampak negatif yang muncul dari aktivitas ini.  Mulai dari polusi, hingga semakin konsumtifnya masyarakat, merupakan sebagian kecil dampak negatif yang muncul dari aktivitas profit-seeking ini. Di tingkat yang lebih luas, krisis ekonomi global antara lain disebabkan oleh berbagai masalah yang berawal dari greed dan profit-seeking yang ‘kebablasan’.

Belakangan ini berkembang pendekatan baru dalam bisnis yang mendorong pengusaha untuk lebih peduli kepada lingkungan sekitar. Ajakan untuk meninggalkan paradigma bisnis yang sempit sudah lama dilakukan. 

Salah satu aspek penting dari desain social enterprise adalah kemampuannya untuk memberikan solusi kepada mereka yang ‘terabaikan’

Edward Freeman (1984), misalnya, sudah sejak lama menganjurkan agar perusahaan tidak hanya menitikberatkan pada satu pemangku-kepentingan (stakeholders), melainkan juga memperhatikan mereka yang dipengaruhi secara langsung maupun tidak langsung oleh aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan.  Barter (2011), misalnya, mencoba untuk mengkritik perspektif ini, karena bersifat antroposentris, dan menganjurkan untuk juga melihat dampak lingkungan dari aktivitas bisnis.

Namun, hal ini tidak mudah, karena pada akhirnya banyak entrepreneur yang masih mengajukan profit sebagai motif utama dalam melakukan bisnis dan terjebak di dalam business-as-usual.

Hal itu juga didorong sebagian oleh pendidikan bisnis yang masih mengajarkan pencapaian profit sebagai tujuan utama dalam melakukan bisnis.  Jika ada hal lain yang harus dicapai, maka sifatnya supplemental atau bahkan proxy untuk mencapai tujuan utama tersebut.

Maka dari itu, tidak mengherankan jika kita banyak melihat perusahaan yang menempatkan aspek sosial semata-mata sebagai instrumen pemasaran, atau bahkan sekadar aktivitas yang dilakukan untuk mendongkrak peringkat public relations.

Oleh karena itu, mendobrak business-as-usual di lingkup bisnis dan manajemen menjadi sangat penting.  Santos (2010) menunjukkan bahwa pada dasarnya ada dua aktivitas yang bisa dilakukan perusahaan: value appropriation (mencari keuntungan) dan value creation (menciptkan nilai untuk masyarakat).

LAYANAN TERBAIK

Kedua hal ini merupakan dua ujung ekstrem dari sebuah spektrum.  Implikasinya, perusahaan bisa condong untuk menciptakan nilai untuk masyarakat – dan membantu masyarakat yang membutuhkan – dan tetap memperoleh keuntungan (value appropriation) dari aktivitasnya.

Salah satu kampanye negatif yang ditujukan untuk menyerang pendekatan ini adalah anggapan bahwa perusahaan yang condong pada value creation (yaitu social enterprise) bersifat imoral, karena dianggap memperoleh keuntungan dari masyarakat miskin.  Jelas, hal ini merupakan sebuah kesalahpahaman.

Bagi Santos (2010), satu karakteristik dasar dari social enterprise adalah kemampuannya untuk memberikan layanan yang terabaikan (neglected) di tengah-tengah masyarakat.  Harus diakui bahwa pemerintah, sebagaimana pun baik desainnya dan filosofinya, pada kenyataannya tidak dapat melayani seluruh segmen dari masyarakat.

Dalam pemahaman klasik, segmen yang tidak bisa dilayani ini bisa diberikan kepada pihak swasta melalui privatisasi, atau dengan membiarkan mekanisme pasar yang menangani.

Namun ada banyak faktor yang menghambat mekanisme ini, dan oleh karena itu, perusahaan pun sering tidak bisa melayani hal-hal yang dibutuhkan oleh masyarakat.  Hal seperti, misalnya penyediaan listrik pedesaan, seringkali luput dari layanan pemerintah dan juga tidak dilirik oleh perusahaan pembangkit listrik karena profit yang kecil.

Oleh karena itu, salah satu aspek penting dari desain social enterprise adalah kemampuannya untuk memberikan solusi kepada mereka yang ‘terabaikan’.  Namun, mewujudkan hal ini memang tidak mudah, karena seorang social entrepreneurs harus memiliki kreativitas yang sangat tinggi untuk merancang model bisnis yang baru dan bisa menawarkan value appropriation dan creation secara bersamaan.

Ada hal menarik seputar kreativitas yang diungkap dalam Harvard Business Review Blog pada 2 April 2013.  Posting blog ini mendapatkan kecaman yang banyak dari berbagai pihak di Internet.  Dr. Tomas Chamorro-Premuzic mengungkapkan tujuh cara yang bisa dilakukan untuk menata mereka yang memiliki talenta kreatif.

Dari ketujuh cara tersebut, salah satu yang menarik perhatian banyak orang adalah anjurannya untuk memberikan imbalan finansial yang rendah untuk mereka yang kreatif. Alasannya, berbagai riset menunjukkan bahwa para insan kreatif didorong oleh motivasi internal, dan oleh karena itu, uang bukan merupakan pendorong utama dalam melakukan bisnis.

Mereka pun juga memiliki keinginan mendapatkan pengakuan dan oleh karena itu aspek pengakuan sosial lebih penting untuk mereka dibandingkan dengan reward finansial. Walaupun kontroversial, Chamorro-Premuzin memberikan insight seputar hubungan social enterpreneurship dengan kreativitas.

Ada kemungkinan bahwa bukan hanya kreativitas itu penting bagi social entrepreneur, terutama karena desain model bisnis yang sama sekali baru penting untuk mengembangkan social enterprise, tetapi ada kemungkinan social enterprise juga merupakan tempat yang cocok bagi para insan kreatif, terutama karena mereka memiliki internal drive yang tidak terpengaruh oleh insentif finansial yang seringkali menjadi motivasi bagi mereka yang bekerja di commercial enterprise.  Yang jelas, jika ini semua benar, kreativitas dan social enterprise bisa jadi seperti magnet yang saling menarik satu dengan yang lainnya.

Pandangan ini pun juga memiliki implikasi yang menarik bagi individu kreatif yang bekerja di commercial enterprise, sekaligus menjadi kesempatan bagi perusahaan ‘biasa’ untuk mendukung berkembangnya social enterprise.

Individu kreatif di dalam commercial enterprise bisa diajak secara bersama-sama untuk mengembangkan program CSR perusahaan secara kreatif.  Alih-alih sekadar mengerjakan program CSR generasi pertama (donasi), karyawan ini bisa membantu mengembangkan program CSR generasi keempat (social enterprise) untuk perusahaan.

Walaupun demikian, masih perlu banyak penelitian dan kajian seputar hal ini karena relasi antara social enterprise dan kreativitas merupakan wilayah baru di dalam dunia bisnis dan manajemen. Bila asumsi-asumsi ini betul, maka kita akan dapat melihat sinergi yang luar biasa antara dunia kreativitas dan social enterprise yang pada akhirnya akan banyak membantu menyelesaikan masalah sosial di tengah-tengah masyarakat.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Martin Sihombing
Sumber : M. Ari Margiono
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper