Bisnis.com, JAKARTA - Berbisnis di tengah kondisi ekonomi yang tak menentu menjadi tantangan tersendiri lantaran bisa mempengaruhi daya beli masyarakat.
Di samping itu, saat ini dengan banyaknya bisnis jasa titip alias jastip, semakin tidak mudah bagi pemilik bisnis fashion lokal untuk mengembangkan usahanya.
Semakin banyak orang yang belanja ke luar negeri, seperti ke Bangkok, Thailand, atau ke China dan membawa produk dengan harga sangat murah untuk dijual di Indonesia, sehingga menimbulkan persaingan harga yang begitu ketat.
Sejalan dengan hal itu, Melinda Babyanna, Founder & Principal Consultant TBF Consultant, juga mengungkapkan tantangan yang dihadapi brand lokal saat ini, terutama untuk industri fashion dan ritel lokal.
"Jadi memang sebenarnya kondisinya, sudah terjadi sejak 2023 sebenarnya, situasinya adalah kita oversupply, atau terlalu banyak pasokan baju-baju fashion yang beredar di pasar," ungkapnya dalam talkshow “Survive & Scale: Strategies to Strengthen Your Fashion Brand in Today’s Economy” di Jakarta, Jumat (15/8/2025).
Dia mengungkapkan bahwa hal ini sangat dirasakan di beberapa marketplace dan e-commerce yang kini dibanjiri berbagai barang fashion, namun jumlah dan minat pembelinya stagnan.
Baca Juga
"In this economy, yang terasa adalah tidak ada pembeli baru karena prioritas mereka berubah. Jadi orang-orang akan beli baju secukupnya," ujarnya.
Lantas, bagaimana pemilik brand lokal bisa bertahan di tengah oversupply dan penurunan daya beli?
Baby mengatakn bahwa saat ini yang diperlukan bukan cuma soal harga murah, tapi juga ada value atau nilai tambah dari produk yang dijual, supaya orang yang membeli merasa harganya sepadan walaupun tidak harus murah.
"Misalnya kita jual baju harganya premium Rp500.000, tapi buat itu worth it, nggak pasaran. Atau ada konsep value yang lain, dengan storytelling dan lain-lain. Itu sekarang pasti harus dilakukan. Karena teman-teman juga tidak bisa terlalu banyak membuat produk saat ini," jelasnya.
Storytelling bisa dan penting dilakukan terutama di era media sosial saat ini, misalnya dengan cara menunjukkan bagaimana produknya dibuat, dan menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam pembuatan setiap helai pakaian yang akan dibeli pelanggan.
Kemudian, bisa juga dengan menunjukkan nilai dan misi atau dampak yang diharapkan dari pemilik bisnis, di mana jika membeli produknya, pelanggan akan berpartisipasi pada misi tersebut.
"Hal-hal seperti ini tuh buat mereka yang pakai bangga, membuat produknya berbeda dan punya nilai tersendiri, dan akan muncul rasa bangga ketika memakai produknya," katanya.
Selain itu, Baby juga menyarankan untuk memperkuat komunitas, mengamati tren untuk tetap relevan dengan pasar yang dituju.
"Karena perlu diingat nggak bisa semua market kita ambil, nggak bisa. Kita juga tidak bisa terus-terusan masuk dalam perang harga sama marketplace, tapi bagaimana caranya kita buat produk kita semakin terjangkau dari segala sisi," ungkap Baby.