" Saya mempelajari nilai kerja keras, dengan bekerja keras " ( Margaret Mead ).
Bangsa di Asia yang berkulit kuning, sebut saja China memiliki pendapatan per kapita ( ppk ) sekitar US$10.000, Jepang US$40.000, Korea US$32.000. Mereka adalah bangsa yang melesat menjadi negara maju. Indonesia, dengan ppk US$4.000, jauh tertinggal dengan mereka. Padahal usia negara-negara tersebut mirip dengan negara kita. Bahkan bisa dikatakan, China jauh lebih muda dari kita. Ia "benar-benar lahir" pada masa kepemimpinan Deng Xiaoping tahun 1978.
Satu faktor yang tak dapat disangkal adalah, bangsa-bangsa itu dikenal sebagai bangsa yang sangat kuat etos kerjanya. Mereka adalah orang-orang yang rajin. Etos kerja itu secara esensial dinyatakan dengan pas oleh Anne Frank, " Kemalasan memang nampak menarik, tetapi bekerjalah yang menghasilkan kepuasan ".
Presiden kita, Joko Widodo, adalah contoh jelas, soal etos kerja positif ini. Dalam kurun waktu kurang dari 15 tahun, dari 'nobody', seorang pengusaha mebel UKM, ia menjadi seorang Presiden. Terlepas dari keunggulannya dalam faktor lain-lain, Joko Widodo adalah seorang pekerja keras. " Suatu mimpi tak akan menjadi kenyataan oleh keajaiban, ia memerlukan keringat, determinasi dan kerja keras ", kata Colin Powell.
Banyak contoh para pebisnis sukses yang bila ditanya, apa resep mereka sehingga mereka sukses. Jawaban mereka : " Jangan cepat 'complacent' dengan pencapaian yang ada ". Atau " Saya hanya berbuat dan bekerja lebih banyak dibandingkan rata-rata orang lain ". Ataupun, " Saya tidak bisa menerima suatu tantangan tanpa menyelesaikannya dengan sukses dan tuntas ". Benang merahnya adalah kerja keras. Kata Jules Renald, " Kemalasan itu tak lebih dan tak kurang adalah kebiasaan beristirahat sebelum kelelahan datang ".
Sementara, ada guyonan para pemalas itu, antara lain : " Bila saya memenangkan kejuaraan kompetisi kemalasan, saya akan mengirim seseorang untuk mengambil piala kejuaraan itu untuk saya ". Ada lagi, " Saya bukan pemalas. Saya hanya sangat termotivasi untuk tak melakukan apapun ".
Bermalas-malas sungguh nampak memikat. Siapapun mudah tergoda untuk melakukan hal serupa. Menonton tv atau gawai berjam-jam sungguh nikmat. Apalagi bila topik di TV atau gawai itu menyangkut suatu acara yang disukai. Sementara, dengan kenikmatan itu, pekerjaan rela ditinggal. Atau kewajiban belajar diabaikan.
Memang demikianlah alamnya, manusia cenderung lebih suka melakukan hal-hal yang tidak baik dibanding untuk melakukan hal-hal baik. Sudah dari sononya, iblis itu seringkali lebih perkasa dari pada malaikat.
Padahal, secara spiritual, amanah utama Yang Maha Kuasa kepada segenap umat Nya adalah untuk memberikan kemaslahatan kepada sesama, seoptimal mungkin.
Dia menganugerahkan kepada kita kepandaian dan segenap kekuatan untuk menunaikan amanah-amanah itu. Dan bila kita tak bekerja keras, hanya berleha-leha, atau bekerja ala kadarnya, tak salah kalau kita katakan, kemalasan adalah suatu sikap sia-sia. Kemalasan adalah kemubaziran.
*Penulis buku-buku " Life and Management Wisdom Series " :
The Answer Is Love
All You Need Is Love
To Love and To be Loved
Love of My Love