Bisnis.com, JAKARTA - Meneropong efektivitas kepemimpinan seseorang paling mudah dilihat dari kinerjanya. Kinerja yang berbentuk angka ini mudah untuk diukur, gampang untuk dipahami sekaligus juga menjadi tolak ukur peningkatan kinerja dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
CEO Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin diangkat secara resmi memimpin Bank Mandiri pada April 2013. April 2015 ini tepat dua tahun kepemimpinan Budi dalam mengelola Bank Mandiri.
Bagaimana kinerja Budi Sadikin selama dua tahun ini?
Selain berbagai penghargaan dalam dan luar negeri yang diperoleh Bank Mandiri selaku lembaga maupun Budi selaku pribadi, kinerja keuangan juga menunjukkan hasil yang gemilang. Pada akhir 2013, aset Bank Mandiri mencapai Rp733,1 triliun.
Selama 2014, aset meningkat Rp121,9 triliun atau 16,6%, menjadi Rp855,0 triliun. Sisi kredit meningkat Rp57,6 triliun atau 12,2%, dari Rp472,4 triliun pada akhir 2013 menjadi Rp530,0 triliun pada akhir 2014. Bagaimana dengan keuntungannya? Juga meningkat. Jika pada 2013 Bank Mandiri meraup keuntungan Rp18,2 triliun, pada 2014 berbiak menjadi Rp19,9 triliun.
Melihat Bank Mandiri hari ini tentu tidak boleh melupakan jasa besar CEO sebelumnya, Agus Martowardojo. Pada Mei 2005 ketika Agus didaulat menjadi CEO, dia mewarisi perusahaan yang kelimpungan.
Dilihat dari berbagai sisi, kondisi Bank Mandiri ketika itu babak-belur. Untuk itu, Agus menggelorakan semangat perubahan yang sifatnya strategis dan menyeluruh yang dalam bahasa manajemen disebut transformasi bisnis. Transformasi Bank Mandiri ini memakai istilah bernama Lima Strategi Pilar.
Lengkapnya sebagai berikut: (1) menyelesaikan permasalahan kredit bermasalah dan melakukan konsolidasi bisnis corporate banking, (2) memperbaiki citra perusahaan, meningkatkan penerapan good corporate governance dan memperkuat kapabilitas, (3) melanjutkan pengembangan bisnis pada segmen-segmen yang telah ditentukan, (4) meningkatkan efisiensi operasional, serta (5) meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia melalui penerapan corporate values, performance culture, sales & risk culture.
Selama lima tahun menjadi CEO (2005–2010) semua dari Lima Strategi Pilar ini berhasil dijalankan oleh Agus Martowardojo. Penggantinya, Zulkifli Zaini melanjutkan program transformasi bisnis jilid II yang intinya membawa Bank Mandiri menjadi bank terbesar ke lima di Asia Tenggara pada 2014, untuk selanjutnya pada 2020 menjadi nomor tiga di Asia.
Melanjutkan tradisi yang ditorehkan dengan bagus oleh Agus, kepemimpinan Zulkifli juga meninggalkan rekam jejak yang menawan hingga akhirnya pada April 2013 Budi Sadikin menjadi nakhoda baru Bank Mandiri.
Adalah John Kotter, mahaguru manajemen perubahan yang menulis buku serial tentang perubahan. Kata Kotter, ada delapan langkah yang perlu dijalankan oleh perusahaan agar sukses dalam melakukan perubahan besar, yakni: (1) meningkatkan perasaan terdesak (sense of urgency), (2) membangun agen perubahan atau tim pemandu perubahan, (3) membuat visi yang tepat, (4) mengomunikasikan visi, (5) memberdayakan aksi, (6) menciptakan kemenangan-kemenangan jangka pendek, (7) menjaga semangat perubahan agar jangan mengendur, dan (8) membuat perubahan bersifat tetap.
Langkah satu sampai enam dengan bagus sudah dijalankan oleh Agus Martowardojo dan dilanjutkan Zulkifli Zaini. Dengan demikian tugas Budi Sadikin fokus pada dua langkah terakhir: (1) menjaga semangat perubahan agar jangan mengendur dan (2) membuat perubahan bersifat tetap.
Langkah bernama ‘jangan mengendur’ tak lain adalah langkah yang dilakukan pemimpin yang secara konstan mencari cara agar perasaan terdesak (sense of urgency) tetap tinggi. Pemimpin tertinggi tidak hanya duduk pada kursi jabatan nan empuk, tetapi mengikuti jenjang jabatan kepemimpinan (jabatan) dari anak buah sehingga dapat memastikan mereka dalam kondisi perasaan terdesak.
Mereka diajak berpikir bahwa bisnis di luar sana memiliki peluang yang besar tetapi sekaligus menimbulkan resiko yang tidak kecil. Perasaan mereka dibawa oleh sang pemimpin agar memiliki keinginan kuat untuk maju dan meraih kemenangan saat ini juga.
Persaingan antar bank di Indonesia begitu sengit. Tidak saja jumlah bank yang sangat banyak, tetapi juga kebijakan pemerintah yang masih memungkinkan bank asing menguasai mayoritas kepemilikan saham bank di Indonesia. Ditambah lagi niat Bank Mandiri sebagai bank pemerintah yang harus mengibarkan bendera Merah Putih di kawasan regional.
Dua hal ini, tingkat persaingan dan kawasan regional, yang bisa dijadikan isu oleh Budi Sadikin agar semua karyawannya dalam berbagai tingkat jabatan tetap menjaga semangat perubahan. ‘Jangan mengendur’ menjadi mantra supaya motivasi apinya tetap terjaga menyala.
Langkah ‘membuat perubahan bersifat tetap’ menjadi tantangan yang tidak ringan dari Budi Sadikin.
Menurut John Kotter, agar perubahan bersifat tetap, maka perubahan perlu sudah betul-betul tertanam dalam budaya perusahaan.
Dengan demikian cara baru beroperasi tidak akan kembali ke cara lama. Bahkan akan menjadi lebih produktif apabila ditemukan cara-cara yang lebih baru
sehingga budaya perusahaan semakin kuat. Membicarakan budaya perusahaan bukan perkara mudah. Budaya ini yang akhirnya men jadi perilaku warga organisasi.
Penerapannya selalu memerlukan waktu panjang. Dia perlu secara konsisten dijalankan. Para pemimpinlah menjadi contoh peran dalam implementasi budaya perusahaan. Terlebih lagi contoh peran dari pemimpin tertingginya.
Secara formal, pembentukan budaya perusahaan baru Bank Mandiri dimulai pada era Agus Martowardojo.
Alhasil, pada 2015 ini tepat 10 tahun budaya perusahaan Bank Mandiri dimulai. Budaya perusahaan Bank Mandiri sendiri terdiri dari lima nilai, yaitu trust, integrity, professionalism, customer focus, dan excellence.
Berbasis konsep, lima nilai harus dijalankan berbarengan sehingga membentuk perilaku warga Bank Mandiri seperti yang diharapkan.
Melihat perjalanan Bank Mandiri selama 10 tahun terakhir, fokus pada satu nilai guna memperkuat perubahan agar bersifat tetap menjadi hal yang dapat dibenarkan. Apa yang perlu dilakukan oleh Budi Sadikin? Tak lain semakin memperkuat nilai kelima excellence.
Seperti tertulis dalam dokumen perusahaan, excellence tak lain adalah ‘mengembangkan dan melakukan perbaikan di segala bidang untuk mendapatkan nilai tambah optimal dan hasil yang terbaik secara terus-menerus’. []
*) A.M. LILIK AGUNG, Trainer bisnis. Mitra pengelola LA Learning.