Bima Arya Sugiarto adalah teman diskusi mengasyikkan. Sejak jauh sebelum dilantik sebagai Walikota Bogor, kami sering berdiskusi mulai dari isu sosial, politik, hingga budaya.
Kang Bima, begitu saya biasa memanggil, juga nara sumber Sarwo Sarwi Pedalangan yang rutin Ki Dalang asuh di TVRI. Ide-idenya genuine, mencerahkan, tidak jarang out of the box.
Dalam salah satu kesempatan diskusi di rumah pendopo walikota Bogor, ia mengutarakan obsesinya menjadikan Kota Hujan itu menjadi sekaliber Paris. Semua yang dibutuhkan untuk itu sudah tersedia. Heritage, kebun raya, objek wisata, ragam kuliner, hawa sejuk. Bogor punya semua syarat untuk menjadi kota berstandar global.
Namun, Bogor dengan populasi tak lebih 950.000 jiwa, terasa sumpek pada akhir pekan karena dibanjiri orang dari Jakarta. Tak kurang lima juta warga Ibu Kota setiap tahun datang. Kang Bima pun melontarkan gagasan membatasi jumlah kendaraan Jakarta masuk ke kotanya.
Ki Dalang menangkap, yang ada di kepala Kang Bima adalah the future city. Kota masa depan. Kondisi ideal itu akan terwujud kalau sebuah kota bisa menyeimbangkan laju populasi dengan resources yang ada. Seperti ketersediaan pangan, air, energi, lahan, dan papan. Kalau keseimbangan itu terganggu, kehidupan warga secara keseluruhan akan terganggu.
Kocap kacarita. Sang Hyang Wenang memiliki tiga anak, Tejamaya, Ismaya, dan Manikmaya. Untuk menjaga keseimbangan alam semesta, ketiganya mendapat tugas dan tanggung jawab berbeda.
Tejamaya, mendapat tugas berat, turun ke marcapada atau alam manusia untuk menjaga sisi gelap kehidupan. Ia menjadi punakawan bagi para ksatria durjana dan angkara, bergaul dan bercengkerama dengan lelembut, jin, hantu, setan peri perayangan, dan makhluk kegelapan lainnya. Tejamaya dikenal sebagai Togog.
Tugas Ismaya tak kalah berat. Terjun ke marcapada untuk menjaga sisi terang kehidupan. Ia menjadi punakawan bagi para ksatria berbudi luhur, adil, dan bijaksana. Bergaul dan bercengkerama di tengah manusia dengan dharma, menebarkan kasih dan sayang. Ismaya dikenal sebagai Semar.
Si bungsu Manikmaya, mendapat tugas relatif ringan. Tetap di mayapada alias alam dewata, untuk memimpin para dewa agar menjalankan tugas dengan baik sesuai kewenangan masing-masing. Di alam ini Manikmaya dikenal sebagai Batara Guru.
Ketiga alam itu harus berjalan seimbang, selaras, dan seirama. Tidak boleh melampaui kodrat atau mengintervensi tatanan yang ada di alam lain.
Kendati berkonotasi jelek dan jahat, dunia gelap anak asuh Togog dibutuhkan untuk menjaga eksistensi dunia terang anak asuh Semar. Tidak ada terang tanpa gelap. Begitu pula sebaliknya. Keduanya harus selalu ada menyertai hidup manusia.
Sisi baik dan sisi buruk adalah dua wajah mata uang yang tak terpisahkan, dua sisi kehidupan yang pasti ada dalam diri manusia. Disebut manusia karena punya naluri kebajikan, sekaligus punya naluri keburukan. Manusia sempurna karena ketidaksempurnaannya.
Para ksatria Pandawa yang sepanjang hidupnya berdiri di sisi kanan Pakeliran, punya sisi gelap dalam hidupnya. Namun, mereka bisa meredam sisi gelap itu, sehingga tidak dominan.
Luruskan Penyimpangan
Para ksatria Kurawa yang sepanjang hayatnya berdiri di sisi kiri Pakeliran, tetap punya sisi terang dalam dirinya, meskipun kalah dominan dibandingkan dengan sisi gelapnya.
Demikian halnya para dewata. Dia bertugas sebatas kewenangan yang dimiliki, menjaga alam seisinya tetap berputar sesuai kodrat dan berjalan beriringan penuh harmoni.
Namun alam semesta tak selamanya indah dan harmonis. Anak asuh Togog kerap kali melanggar batas dan norma untuk menguasai anak asuh Semar. Ketika para ksatria kebajikan tidak lagi kuasa menahan ekspansi para durjana pada saat itulah dewata turun tangan meluruskan penyimpangan.
Dewa menjadi wasit yang adil, untuk mengembalikan semuanya ke kodratnya. Meskipun demikian, dewa tidak selamanya adil. Ada kalanya iri, tidak mau tersaingi manusia, dan merasa paling digdaya. Ketika ego seperti itu muncul, manusia tak kuasa bertahan dan menghalangi hasrat para dewa.
Dalam kondisi seperti itu, Semar diperkenankan babar jati diri, kembali ke wujud asalnya sebagai dewa. Ketika Ismaya hadir, Manikmaya sebagai adik bungsu tak bisa bertindak semaunya.
Ada mekanisme pengawasan, check and balance, yang menjaga harmoni tiga alam itu tetap terjaga dengan indahnya.
Pernah suatu ketika, Semar dan Batara Guru terlibat perseteruan panas yang mengguncang semesta. Bermula dari keinginan Semar membangun kahyangan. Keinginan itu dinilai Guru telah mengintervensi dunia dewata.
Guru pun mengerahkan seluruh potensi dewata, untuk menghentikan Semar. Melihat gelagat intervensi kahyangan, Semar menyiagakan seluruh ksatria untuk berjuang mempertahankan alam manusia. Situasi benar-benar genting.
Dalam situasi seperti itu, siapa yang bisa bertindak sebagai penengah yang adil untuk mengembalikan semuanya ke kodrat?
Naluri yang mengedepankan keadilan itu ada dalam diri masing-masing. Pada para dewa, juga para manusia. Itulah nurani yang terasah untuk senantiasa mengedepankan kepentingan yang lebih luas yaitu eksistensi alam dan seisinya secara keseluruhan.
Nurani inilah yang menyadarkan Guru dan Semar, bahwa mereka sejatinya tidak perlu berseteru. Hal itu semua karena kurangnya komunikasi.
Guru mengira yang hendak dibangun Semar adalah kahyangan dewata, padahal yang dimaksud Semar adalah kiasan bahwa manusia pun bisa hidup layaknya para dewa di kahyangan yaitu ketika mereka memilih jalan hidup mulia berlandaskan dharma.
Alhasil, keseimbangan hanya akan terwujud jika ada kepemimpinan yang kuat, manajemen yang baik, kesadaran untuk menjalankan peran dan fungsi secara maksimal, dan last but not least komunikasi yang baik.
Menjadikan Bogor bak Paris bukanlah pekerjaan mustahil. Tapi Kang Bima dan Kota Bogor tidak bisa bekerja sendiri. Ada keterkaitan dan saling ketergantungan, interkoneksi dan interdependensi, yang mengharuskan seluruh kota bergerak bersama dalam sebuah keseimbangan yang harmonis.
Masalah membanjirnya kepadatan lalu lintas di Bogor, misalnya, tidak bisa dipecahkan dengan membatasi jumlah kendaraan Jakarta masuk Bogor. Satu-satunya pemecahan adalah menjalin komunikasi intens dengan gubernur DKI Jakarta dan seluruh daerah penyangga untuk bersama-sama mewujudkan sistem transportasi massal untuk publik.
Lihatlah Paris dan kota di sekitarnya. Di masing-masing kota ada stasiun kereta api sebagai pusat intermoda. Dari stasiun seluruh penjuru kota diakses dengan angkutan massal seperti KRL, trem, dan bus. Taksi atau angkutan kota dengan jumlah penumpang terbatas tidak menjadi sarana transportasi utama.
Para pekerja di Paris, dari kelas bawah hingga kelas berdasi, tidak perlu tinggal di Paris. Mereka bisa tinggal di kota-kota kecil karena angkutan massal kereta api yang menghubungkan Paris dan kota-kota sekitar tertata dengan baik dan rapi.
Para pakar perkotaan sepakat, intermodalitas adalah masa depan kota-kota dunia. Tanpa itu kota-kota akan menjadi semakin macet, ruwet, dan semrawut. Juga tidak sehat secara fisik dan mental.
Kang Bima memang tidak punya fisik sebesar Bima alias Werkudara. Tapi gagasan dan idenya jauh lebih besar dari Sang Bima. Dari Bogor kita layak berharap lahirnya era baru yaitu sebuah kota yang maju, modern, berkarakter, sekaligus manusiawi dan beradab. Sumangga.
Penulis:
Rohmad Hadiwijoyo
Dalang dan CEO RMI Group