Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Kreatif, Produk Gulma Penghasil Laba

Industri kreatif di Tanah Air terus menggeliat. Salah satunya, industri yang mampu mengubah berbagai bahan dasar menjadi produk-produk yang memiliki nilai jual tinggi. Produk ini tidak terkecuali rumput dan tanaman gulma lainnya.

Industri kreatif di Tanah Air terus menggeliat. Salah satunya, industri yang mampu mengubah berbagai bahan dasar menjadi produk-produk yang memiliki nilai jual tinggi. Produk ini tidak terkecuali rumput dan tanaman gulma lainnya.

Di tangan para perajin yang kreatif, bahan-bahan alami yang tadinya tidak berharga tersebut disulap menjadi produk-produk cantik nan eksklusif. Perubahan gaya hidup masyarakat yang semakin mengarah pada konsep back to nature, membuat produk berbahan alami tersebut kian digandrungi.

Betapa tidak, hanya dengan menyasar pasar dalam negeri saja hasil kreativitas tersebut pun sangat diminati oleh masyarakat mancanegara karena memiliki unsur etnik yang menawan.

Seperti yang dirasakan oleh Asep Barnas, seorang pelaku usaha sukses yang dengan ketrampilannya berhasil mengkreasikan mendong yaitu sejenis pandan laut yang juga dikenal sebagai tanaman gulma, menjadi berbagai produk kerajinan yang bernilai tinggi.

Keputusan Asep untuk terjun menjadi pelaku usaha berawal dari krisis ekonomi yang terjadi pada 1998. Ketika itu, Asep yang bekerja di salah satu perusahaan terpaksa harus ke hilangan pekerjaannya. Setelah diputus hubungan kerja, alum nus Universitas Padjadjaran Bandung ini memutuskan kembali ke Desa Kamulyaan, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Di desa tempat kelahirannya ini, dia melihat banyak pohon mendong yang tumbuh subur, tetapi belum termanfaatkan. Dari situlah, muncul ide untuk menjadikan mendong tersebut sebagai bahan baku yang dapat diolah sebagai produk kreatif.

Di bawah bendera usaha K Craft, Asep mulai serius menggarap bisnis tersebut dengan mempelajari cara budi daya pohon hingga proses produksi. Untuk memasarkan produknya, suami dari Dwi Pangesti ini pun nekat mengikuti pameran ekspor kerajinan di Jakarta.

Bak gayung bersambut, produk yang dipamerkan langsung mendapat pesanan dari pembeli asal Spanyol. Pengirimannya pertama ke luar negeri ini mendapatkan respons positif dari pembeli.

“Waktu itu produk saya ludes terbeli, dan pembayaran langsung terjadi saat itu tanpa harus menunggu termin,” ceritanya.

Pada tahun berikutnya, pemasaran produk kerajinan Mendong K Craft melebar hingga ke negara Eropa lainnya bahkan sampai ke Amerika Serikat. “Permintaan di pasar ekspor sangat besar. Penjualan ke Eropa dan Amerika ini lebih menarik karena pembelian dilakukan secara tunai,” ucapnya.

Pembeli lokal yang menurutnya seringkali menetapkan pembayaran bertempo, kerap membuatnya kesulitan bila mendapatkan pesanan lain.

Pasalnya, uang hasil penjualannya masih belum diterima. Oleh karena itulah, untuk pembeli lokal, K Craft hanya melayani pesanan dari Tasikmalaya. Itupun setelah adanya pengajuan permintaan sebelumnya.

Semakin banyaknya pemesan yang datang, Asep pun merasa perlu untuk menambah jumlah pekerja hingga mencapai 150 orang yang secara khusus dipekerjakan sebagai tenaga ahli, baik tenaga tetap maupun tenaga lepas. Dalam setiap proses produksinya, dia menggunakan mesin manual dan semi otomatis, termasuk 30 alat tenun bukan mesin.

Produk yang dihasilkan oleh K Craft antara lain keranjang, bingkai cermin, bingkai foto, tas wanita, dompet wanita, dan tempat koran atau untuk pembungkus kado. Adapun, harga jual pro duk berkisar antara US$15 hingga US$30. “Untuk proses produksi, saya membutuhkan sekitar 300 meter helai mendong setiap bulannya,” ujarnya.

Setidaknya dalam sebulan, K Craft mampu memproduksi satu kontainer dengan ukuran 20 feet per bulannya dengan nilai sekitar US$8.000 hingga US$12.000. “Tetapi nilai tersebut tidak selamanya terpenuhi karena bergantung pada permintaan buyer.”

Menurutnya, bisnis produk kerajinan ini memiliki prospek yang bagus. Hanya saja, saat ini pelaku usaha lokal harus bersaing dengan para pengusaha dari Filipina dan Vietnam yang menawarkan harga yang lebih murah.

Meski demikian, dia tetap yakin dengan kualitas produk kreasinya.

Asep juga fokus mengembangkan produk dengan memantau perkembangan tren desain, menjadikan situs asing sebagai referensi, maupun membuat prediksi desain ke depan. “Saya berharap bisa memiliki brand sendiri, bahkan bisa mempengaruhi tren di pasar global.”

PERMODALAN

Di sisi lain, dia juga melihat bahwa permodalan masih menjadi kendala. Sebab, sering kali ketika mengerjakan pesanan, ada uang yang tertahan dan menjadi barang modal sehingga dia mengaku kesulitan untuk menerima pesanan lainnya.

Namun, dia terus berupaya menekan biaya produksi dengan menggunakan mesin maupun membuat alat sendiri agar proses produksi lebih efisien. “Biasanya kalau pesanan lain itu tidak bisa ditolak, kami meminta pembeli memberikan purchase order. Bisa juga dengan meminjam uang di bank atau mengambil dari tabungan,” ujarnya.

Pelaku usaha lainnya yang berhasil mengkreasikan bahan alami menjadi produk bernilai tinggi adalah Sumarlin pemilik usaha Lombok Shop. Pria berusia 33 tahun ini memopulerkan rumput ate melalui tangan kreatifnya bahkan produknya dikenal hingga ke mancanegara.

Rumput ate merupakan salah satu jenis tanaman yang hanya tumbuh di beberapa daerah, seperti Lombok, Sumbawa, dan Kalimantan. Sekilas
bentuknya mirip rotan, tetapi dengan diameter yang lebih kecil, sehingga dapat dijadikan kerajinan yang bentuknya kecil.

Dia mengaku membeli bahan setengah jadi dari para perajin di Lombok yang kemudian dikreasikan sedemikian rupa sehingga membentuk ber bagai produk mulai dari alas gelas, wadah tisu hingga tas ekslusif yang kemudian dijual di gerainya Lombok Shop di Pasar Kumbasari, Bali.

“Saya membeli bahan setengah jadi kemudian di-finishing seperti pengamplasan, oven, dan penyemiran dan dibentuk menjadi produk etnik yang disukai konsumen mancanegara disitulah nilai tambahnya,” terangnya.

Untuk harga jual, produk dengan harga paling murah adalah alas gelas senilai Rp3.500, sedangkan yang paling mahal seperti guci seharga Rp2 juta-Rp3 juta.

Sudah hampir 12 tahun, Sumarlin berkecimpung dalam usaha kerajinan rotan dan rumput ate sejak 2012. Sepanjang perjalanan usahanya, pria yang memulai dengan modal Rp50 juta ini sempat mengalami jatuh bangun.

Terutama pada tahun 2007 ketika kebakaran di pasar Kumbasari menghanguskan gerai miliknya. Pada saat itu semua dagangannya hangus bahkan dia mengaku rugi hingga Rp700 juta. Ketika itu dia hampir putus asa, tetapi dengan tekad dan kerja kerasnya Sumarlin dapat kembali bangkit dari keterpurukan tersebut.

Selain peristiwa kebakaran tersebut, adanya teror bom Bali I dan II pada 2002 serta 2005 juga berpengaruh terhadap usahanya. Namun menurutnya meski jumlah kunjungan ke gerainya turun, untungnya beberapa konsumen mancanegara masih melakukan pemesanan jarak jauh via kargo.

Saat ini, dia bahkan bisa mengantongi omzet rata-rata Rp100 juta per bulan dari penjualan melalui gerainya.

Selain itu, Sumarlin rutin mengekspor produknya ke pasar luar negeri setiap bulan. Adapun negara lang ganannya adalah Jepang, Amerika Serikat, Brasil dan beberapa negara di Eropa. “Pendapatan ekspor tidak tentu, rata-rata sekitar Rp50 juta.”

Dia berharap, kerajinan dari rumput ate ini tidak hanya dinikmati oleh konsumen mancanegara tetapi juga masyarakat Indonesia agar mulai sadar dan semakin mencintai produk kerajinan lokal buatan asli Indonesia. (Dewi Andriani/Giras Pasopati)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Senin (23/9/2013)

Topik

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler