Bisnis.com, JAKARTA - Membangun Artha Graha Network menjadi seperti sekarang ternyata sempat membuat Tomy Winata jatuh bangun dan bahkan pernah bangkrut.
Taipan yang masa remaja-nya tinggal di Desa Takoka, Segaranaken, pada awal 1970-an, itu dibesarkan orang tua asuh bernama Bisri Artawinata. Lalu dia sempat pula tinggal di kawasan Kemayoran. Pada umur 15 tahun, Tomy melanglang buana ke Entikong, Singkawang, Kalimantan Barat, dan pada 1976 membuka lahan untuk Batalion Nabire, Papua, sekaligus membantu pengelolaan suku terasing di Jaya Wijaya.
Berikut penuturan Tomy Winata soal kiprah bisnisnya, dalam beberapa kesempatan wawancara:
Bapak terkesan berani ambil risiko begitu besar?
Bukannya saya berani, [tapi karena] miskin. Jadi nggak ada pilihan lain.
Umur berapa waktu itu [ke Papua]?
Umur 18 tahun. Tukang saya waktu itu 500 orang.
Karena besar nyali?
Saya nggak berani klaim punya nyali, tapi karena miskin, lapar, jadi nggak ada pilihan lain lagi.
Jadi sebenarnya kapan mulai bisnis dan dekat tentara?
Waktu saya umur 20-an kembali ke Jakarta, kerja di Cijantung. Bangun Koramil se-Jabotabek. Saya bangun 30 titik lokasi Koramil. Waktu itu bantuin toke saya, yaitu Pak Aseng (Hery Kusnadi). Dia teman, senior saya. Saya dikasih saham 20%, tetapi kemudian habis uang saya. Saya bangkrut.
Bangkrut tahun berapa?
Tahun 1982-1983. Saya habis bener, sampai minus. Lalu saya kerja pada Pak A Guan. Saya waktu itu digaji Rp5 juta sebulan, lalu setelah beberapa tahun kemudian dapat bonus saham. Lalu saya bisa bangkit lagi dan tahun ketiga jadi pemegang saham, dari 20% menjadi 50%. Sampai sekarang masih joint separuh-separuh. Jadi ‘dewa’ saya itu dalam kehidupan ekonomi adalah Pak Aseng dan Pak A Guan.
Bapak terkesan keras menyikapi kehidupan?
Saya keras, itu ajaran orang tua saya. Saya keras itu karena tujuannya mendidik.
Bagaimana menempatkan peran karyawan?
Setelah anak saya, anak-anak di lingkungan saya [karyawan] itu juga adalah anak saya. Kalau saya kerasin mereka, itu karena saya ingin mereka berubah.
Kalau saya ngamuk, artinya saya masih ingin dia berubah. Tapi kalau nggak mau berubah...ya silahkan pergi saja. Kalau emosi, hanya boleh 3 detik. Jangan lama-lama. 3 detik berikutnya harus berfikir secara cool, rasional. Tiga detik berikutnya harus berpikir bagaimana cari solusi.
Bapak punya Artha Graha Peduli (AGP) yang banyak memberi bantuan ke masyarakat tidak mampu?
Tahun 1990-an, saya datang ke Azis Mochtar, bos Menara Cyber. Waktu itu ibunya meninggal, kok yang melayat tidak henti-henti. Saya tanya dia, Azis bilang ibunya setiap dikasih duit pergi ke kampung-kampung, bagi-bagi beras. Saya kemudian lakukan itu. Di mana ada kantor AGN (Artha Graha Network), radius 500 meter harus ada AGP, harus lakukan kepedulian.
Rencana bisnis ke depan?
Selesaikan proyek SCBD (Sudirman Central Business District), kalau kesampaian ekspansi ke Jawa dan Sumatra. Kalau kesampaian pula selesaikan kebun sawit di Kalimantan Barat.
Dalam mengelola bisnis, lebih banyak pakai naluri atau riset atau rekomendasi staf?
Umumnya 60% naluri. Kalau saya sudah yakin naluri saya, dan tidak diikuti, umumnya akibatnya ada....[meleset]
Ada putra ikut mengelola AGN?
Nggak ada. Mereka usaha sendiri-sendiri. Pewaris saya nanti ya eksekutif saya yang bisa pegang AGN. Ibaratnya dia (nunjuk ke seorang staf saat wawancara) bisa lebih baik dari saya silakan. Soal siapa yang harus teruskan AGN, adalah siapa yang terbaik dari lingkungan ini.Kalau lebih baik dari anak saya silakan. Saya sudah tekankan itu.
Ada tangan kanan yang menjadi kepercayaan?
Tangan kanan saya siapa saja. Yang penting siapa saja yang memberikan harga Arta Graha lebih besar dari keluarga dia. Selama dia menerima gaji dan dia besar dari Arta Graha, wajar dong turut menjaga Arta Graha agar tetap maju. Jadi keluarga besar Artha Graha.
Prinsip itu kedengaran keras?
Saya bilang ke anak saya, kalau saya sakit di ICU, kamu jangan tinggalin karyawan hanya untuk tengok saya, lantas akibatnya karyawan itu nggak makan. Toh kalaupun kamu ada, juga tak bisa gantikan dokter.
Hubungan dengan keluarga Cendana?
Ya saya hormati mereka.
Bapak terlihat concern sekali soal SDM dan pangan?
Bangun SDM itu kuncinya di gizi dan protein. Anak-anak saya (karyawan) di sini, selama masih ada nasi, ada sayuran, makan mie sembarangan saya kemplang.
Bahkan untuk anak-anak saya sendiri saat kecil, saya blenderin teri, petai China, tomat. Ini untuk perkembangan otak, dan tidak gampang emosi.
Makanya ikan teri di China harganya mahal. Ikan kakap hanya US$8, ikan teri US$18.
Itu blender sendiri?
Ya saya dulu kan nggak ada kerjaan. Tapi maaf bukan karena saya rajin, melainkan karena [waktu itu] saya miskin. Karena sering saya lakukan itu, dan akhirnya menjadi general knowledge.
Saya ngomong ke sekolahan, kalau setiap anak Indonesia punya gizi baik, IQ bisa 70% di atas rata-rata. Ada yang protes, itu nanti saja, yang penting kenyang dulu. Ya saya bilang; kalau kenyang saja, nanti gedenya jadi 'kebo'.
Bapak yakin kita bisa maju seperti MacKinsey bilang pada 2030?
Jangan bisa atau nggak, kita harus ciptakan. "Ilmu kudu" saja yang dipakai. Harus jalan. Harus nyampai kita. Tapi syaratnya ada. Manusianya harus maju. Kalau nggak bangsanya maju tapi toke-nya siapa? Kita harus punya sekurangnya 50 orang Indonesia asli dengan aset sekurangnya Rp5 triliun ke atas.
Ini penting untuk stabilitas sosial. Ini untuk masa depan Indonesia 2030 nanti, mesti ada balance-nya. Saya sebenarnya tak mau banyak ngomong ke publik karena takut kebablasan. Nanti salah. Sebenarnya salah nggak papa, tapi nggak boleh bohong.
Soal narkoba juga concern sekali?
Pengaturan generasi bangsa itu dengan mencegah dari narkoba, setelah itu gizi, protein.
Harapan saya paling tidak ada 50 orang toke di Indonesia yang mau dan mempunyai kepedulian untuk berantas narkoba. Kalau orang yang kaya mau sisihkan 10% saja dari keuntungannya untuk rehabilitasi narkoba, hasilnya pasti luar biasa.
Pengusaha itu harus punya perasaan sosial lebih tinggi dari bisnisnya. Apalagi bagi orang yang punya uang, anak dan cucunya lebih rentan dari narkoba.
Jadi sebenarnya tujuan bisnis Bapak itu apa?
Memberi manfaat bagi banyak orang.
Pernah nggak merasa bahwa orang salah menilai Bapak?
Saya bukan menganggap orang itu salah. Saya anggap diri saya salah, karena kurang memberi penerangan.
Kiat hidup?
Jalanin saja nanti ketemu akal. Tuhan tidak akan memberi kesulitan manusia melampaui kemampuannya. Hidup itu kan.. common sense.
Pewawancara: Arif Budisusilo/Y. Bayu Widagdo/Akhirul Anwar
Wawancara sebelumnya: