Bisnis.com, JAKARTA - Pengunjung-pengunjung berseragam mulai dari yang berpangkat rendah hingga bintang tertinggi, diakui Edward Tigor Siahaan pernah menyambangi Piltik, kedai kopi berkonsep modern yang dia bangun di sebuah kampung kecil di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatra Utara.
Kendati tenar di kalangan pejabat baik dalam maupun luar negeri, Piltik disebut Tigor tak dibangun atas keinginan untuk meraup untung sebanyak-banyaknya.
Tigor adalah putra daerah yang meniti karir sebagai fotografer profesional. Perjalanan karirnya dia mulai dari menjadi fotografer Majalah SWA di Jakarta pada tahun 1989-1993. Lima tahun di bawah naungan korporasi, Tigor memutuskan keluar dan memilih kembali belajar ke London, Inggris, hingga kemudian lebih dikenal sebagai fotografer kondang bagi sejumlah perusahaan ternama di ibu kota.
Kembali ke desanya di Siborongborong merupakan pilihan yang diambil Tigor dan sang istri secara sadar pada 2013 silam. Tanpa ide besar dan keinginan yang muluk-muluk, Tigor dan sang istri mulai membuka kelas Fotografi dan bahasa Inggris bagi anak-anak di sekitar tempat tinggalnya.
Baca Juga : Harga Kopi Makin Pahit Lagi |
---|
“Saya merasa sudah cukup makan dan hidup di Jakarta dengan pengalaman yang dibaginya. Saya pikir, saya akan lebih berguna kalau kembali ke kampung,” kata Tigor kepada Bisnis di Piltik Coffee Siborongborong, beberapa waktu lalu.
Siborongborong terletak tak begitu jauh dari ikon wisata Sumatra Utara, Danau Toba. Daerah sekitar Danau Toba memang dianugerahi keindahan bentang alam yang tak diragukan lagi. Sayang, pemantik agar wisatawan berbondong-bondong datang ke kawasan tersebut terbilang masih amat minim.
Kelas fotografi dan bahasa Inggris yang digagas Tigor dan sang istri menjadi salah satu pembuka. Dengan jejaring yang telah dibangun selama bekerja, keduanya berhasil memboyong sejumlah relawan dari negara-negara Eropa untuk ikut mengajar anak-anak di Siborongborong.
Piltik Coffee terlahir dari proses tersebut. Awalnya, Tigor dan sang istri hanya menyediakan dapur umum untuk para relawan dari Belanda, Ceko, Inggris, hingga Jerman tersebut. Namun, mereka lebih sering meminta tuan rumah yang memasak makanan.
“Saya pikir, kenapa tidak sekalian saja saya buka kedai di sini. Dari situlah, pada 2016, Piltik ini berdiri,” jelasnya.
Piltik diambil dari bahasa Batak yang berarti jepretan kamera. Dikatakan Tigor, kedai kopi ini awalnya hanya warung tradisional yang menyajikan kopi dan makanan dengan cara pengolahan yang juga tradisional.
Perkembangan zaman membuat Piltik ikut bertransformasi dan mengarah ke kedai kopi modern. Mulai dari peralatan, fasilitas, hingga kemampuan sumber daya manusia yang menggerakkannya pun terus dikembangkan.
Dikatakan Tigor, apa yang dia bangun saat ini tak pernah benar-benar masuk daftar rencananya. Piltik terus bertumbuh mengikuti kebutuhan zaman dan kini menjadi fokus utama fotografer profesional yang juga dosen fotografi di LSPR Jakarta ini.
Kedekatan Emosional
Siborongborong tak seterkenal kawasan Toba atau bahkan Ibu Kota Medan di kalangan wisatawan, sehingga hampir mustahil Piltik Coffee yang terletak cukup di pedalaman ini mendapat atensi jika hanya mengandalkan keindahan pemandangan dan produk yang mereka jual.
Hal itu diakui Tigor. Dia mengatakan, sejak berdiri pada 2016 lalu, hampir seluruh pengunjung yang datang ke Piltik Coffee adalah mereka yang memiliki kedekatan emosional dengan dirinya dan sang istri. Dengan kata lain, para pengunjung Piltik adalah kenalan-kenalan mereka yang tersebar di segala penjuru. Piltik Coffee jadi semacam rumah lain bagi Tigor untuk menjamu tamu-tamunya.
Hampir seperempat abad berkarir di Jakarta dan sekitarnya membuat relasi Tigor tak main-main. Relasi itu yang dia rawat hari demi hari hingga mendatangkan berkah bagi kedai kopi kecilnya di Siborongborong.
“Ada hubungan personal di sini. Kalau orientasi kami bisnis, orang cukup sekali datang. Apa hebatnya Piltik, kan? Masih banyak coffee shop atau tempat makan yang lebih enak di luar sana,” ujarnya.
Begitu pula yang diterapkan Tigor dalam membangun hubungan dengan mitra Piltik. Saat ini Piltik Coffee tak lagi hanya sekadar kedai kopi dengan camilan manis seperti kue tar maupun kukis hingga makanan berat sebagai hidangannya. Di pintu masuk Piltik, berjejer kemasan kopi-kopi lokal berkualitas, botolan madu lebah hutan alami, serta beberapa souvenir berupa tenunan khas dari tanah Tapanuli Utara.
Tigor menyebut hal itu sebagai bentuk dukungannya pada usaha lokal masyarakat. Dia mengatakan, biji kopi yang dipakai Piltik disuplai oleh petani kopi setempat. Para petani itu mulanya datang langsung menawarkan hasil panen mereka, mulai dari partai kecil dengan berat 10 kilogram hingga partai besar. Rata-rata ada 100 kilogram kopi arabika petani Siborongborong yang bisa diserap Piltik setiap bulan.
Meski kehidupan di Piltik Coffee sepenuhnya didukung oleh para diaspora atau perantau-perantau dari tano Batak yang kembali ke kampung halaman, Tigor menaruh harapan besar akan mengalirnya pariwisata di Danau Toba dan sekitarnya.
Dia mengatakan, pariwisata sudah menjadi lokomotif ekonomi suatu daerah sehingga sudah selayaknya mendapat perhatian khusus.
“Sebaiknya, apapun yang kita lakukan sudah harus terkait dengan pariwisata. Misal, mau membangun pabrik tahu, buatlah dia ramah lingkungan, ramah untuk turis. Itu pasti hidup. Jangan hanya mengandalkan pemasukan produk utama, tapi dari pariwisatanya karena itu akan memberi nilai lebih,” sarannya.
Ke depan, Tigor berencana mengembangkan Piltik Academy untuk mendukung pemuda-pemudi setempat maupun dari luar kota yang ingin memperdalam keterampilan mereka di bidang perkopian (barista) maupun seni pameran dan pertunjukkan.
Akademi itu telah mulai dirintisnya lewat transfer pengetahuan dan keterampilan kepada karyawan Piltik yang saat ini berjumlah sekitar 20 orang. Disebut Tigor, beberapa didikannya di Piltik terdahulu bahkan kini telah mampu membuka usaha kopi mereka sendiri. (K68)
foto: Delfi dan Dok. Piltik (ada tandanya)
caption:
1. (dok.Piltik) Fasad muka Piltik Coffee di malam hari.
2. Edward Tigor Siahaan, fotografer profesional pemilik Piltik Coffee, kedai kopi modern di kampung kecil Siborongborong
3. Aneka produk petani lokal yang dikemas dan dijual Piltik Coffee.
Pengunjung-pengunjung berseragam mulai dari yang berpangkat rendah hingga bintang tertinggi, diakui Edward Tigor Siahaan pernah menyambangi Piltik, kedai kopi berkonsep modern yang dia bangun di sebuah kampung kecil di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatra Utara.
Kendati tenar di kalangan pejabat baik dalam maupun luar negeri, Piltik disebut Tigor tak dibangun atas keinginan untuk meraup untung sebanyak-banyaknya.
Tigor adalah putra daerah yang meniti karir sebagai fotografer profesional. Perjalanan karirnya dia mulai dari menjadi fotografer Majalah SWA di Jakarta pada tahun 1989-1993. Lima tahun di bawah naungan korporasi, Tigor memutuskan keluar dan memilih kembali belajar ke London, Inggris, hingga kemudian lebih dikenal sebagai fotografer kondang bagi sejumlah perusahaan ternama di ibu kota.
Kembali ke desanya di Siborongborong merupakan pilihan yang diambil Tigor dan sang istri secara sadar pada 2013 silam. Tanpa ide besar dan keinginan yang muluk-muluk, Tigor dan sang istri mulai membuka kelas Fotografi dan bahasa Inggris bagi anak-anak di sekitar tempat tinggalnya.
“Saya merasa sudah cukup makan dan hidup di Jakarta dengan pengalaman yang dibaginya. Saya pikir, saya akan lebih berguna kalau kembali ke kampung,” kata Tigor kepada Bisnis di Piltik Coffee Siborongborong, beberapa waktu lalu.
Siborongborong terletak tak begitu jauh dari ikon wisata Sumatra Utara, Danau Toba. Daerah sekitar Danau Toba memang dianugerahi keindahan bentang alam yang tak diragukan lagi. Sayang, pemantik agar wisatawan berbondong-bondong datang ke kawasan tersebut terbilang masih amat minim.
Kelas fotografi dan bahasa Inggris yang digagas Tigor dan sang istri menjadi salah satu pembuka. Dengan jejaring yang telah dibangun selama bekerja, keduanya berhasil memboyong sejumlah relawan dari negara-negara Eropa untuk ikut mengajar anak-anak di Siborongborong.
Piltik Coffee terlahir dari proses tersebut. Awalnya, Tigor dan sang istri hanya menyediakan dapur umum untuk para relawan dari Belanda, Ceko, Inggris, hingga Jerman tersebut. Namun, mereka lebih sering meminta tuan rumah yang memasak makanan.
“Saya pikir, kenapa tidak sekalian saja saya buka kedai di sini. Dari situlah, pada 2016, Piltik ini berdiri,” jelasnya.
Piltik diambil dari bahasa Batak yang berarti jepretan kamera. Dikatakan Tigor, kedai kopi ini awalnya hanya warung tradisional yang menyajikan kopi dan makanan dengan cara pengolahan yang juga tradisional.
Perkembangan zaman membuat Piltik ikut bertransformasi dan mengarah ke kedai kopi modern. Mulai dari peralatan, fasilitas, hingga kemampuan sumber daya manusia yang menggerakkannya pun terus dikembangkan.
Dikatakan Tigor, apa yang dia bangun saat ini tak pernah benar-benar masuk daftar rencananya. Piltik terus bertumbuh mengikuti kebutuhan zaman dan kini menjadi fokus utama fotografer profesional yang juga dosen fotografi di LSPR Jakarta ini.
Kedekatan Emosional
Siborongborong tak seterkenal kawasan Toba atau bahkan Ibu Kota Medan di kalangan wisatawan, sehingga hampir mustahil Piltik Coffee yang terletak cukup di pedalaman ini mendapat atensi jika hanya mengandalkan keindahan pemandangan dan produk yang mereka jual.
Hal itu diakui Tigor. Dia mengatakan, sejak berdiri pada 2016 lalu, hampir seluruh pengunjung yang datang ke Piltik Coffee adalah mereka yang memiliki kedekatan emosional dengan dirinya dan sang istri. Dengan kata lain, para pengunjung Piltik adalah kenalan-kenalan mereka yang tersebar di segala penjuru. Piltik Coffee jadi semacam rumah lain bagi Tigor untuk menjamu tamu-tamunya.
Hampir seperempat abad berkarir di Jakarta dan sekitarnya membuat relasi Tigor tak main-main. Relasi itu yang dia rawat hari demi hari hingga mendatangkan berkah bagi kedai kopi kecilnya di Siborongborong.
“Ada hubungan personal di sini. Kalau orientasi kami bisnis, orang cukup sekali datang. Apa hebatnya Piltik, kan? Masih banyak coffee shop atau tempat makan yang lebih enak di luar sana,” ujarnya.
Begitu pula yang diterapkan Tigor dalam membangun hubungan dengan mitra Piltik. Saat ini Piltik Coffee tak lagi hanya sekadar kedai kopi dengan camilan manis seperti kue tar maupun kukis hingga makanan berat sebagai hidangannya. Di pintu masuk Piltik, berjejer kemasan kopi-kopi lokal berkualitas, botolan madu lebah hutan alami, serta beberapa souvenir berupa tenunan khas dari tanah Tapanuli Utara.
Tigor menyebut hal itu sebagai bentuk dukungannya pada usaha lokal masyarakat. Dia mengatakan, biji kopi yang dipakai Piltik disuplai oleh petani kopi setempat. Para petani itu mulanya datang langsung menawarkan hasil panen mereka, mulai dari partai kecil dengan berat 10 kilogram hingga partai besar. Rata-rata ada 100 kilogram kopi arabika petani Siborongborong yang bisa diserap Piltik setiap bulan.
Meski kehidupan di Piltik Coffee sepenuhnya didukung oleh para diaspora atau perantau-perantau dari tano Batak yang kembali ke kampung halaman, Tigor menaruh harapan besar akan mengalirnya pariwisata di Danau Toba dan sekitarnya.
Dia mengatakan, pariwisata sudah menjadi lokomotif ekonomi suatu daerah sehingga sudah selayaknya mendapat perhatian khusus.
“Sebaiknya, apapun yang kita lakukan sudah harus terkait dengan pariwisata. Misal, mau membangun pabrik tahu, buatlah dia ramah lingkungan, ramah untuk turis. Itu pasti hidup. Jangan hanya mengandalkan pemasukan produk utama, tapi dari pariwisatanya karena itu akan memberi nilai lebih,” sarannya.
Ke depan, Tigor berencana mengembangkan Piltik Academy untuk mendukung pemuda-pemudi setempat maupun dari luar kota yang ingin memperdalam keterampilan mereka di bidang perkopian (barista) maupun seni pameran dan pertunjukkan.
Akademi itu telah mulai dirintisnya lewat transfer pengetahuan dan keterampilan kepada karyawan Piltik yang saat ini berjumlah sekitar 20 orang. Disebut Tigor, beberapa didikannya di Piltik terdahulu bahkan kini telah mampu membuka usaha kopi mereka sendiri. (K68)