Bisnis.com, JAKARTA – Dewasa ini setidaknya mengemuka tiga peperangan besar. Pertama, perang dagang antara China dan Amerika Serikat.
Kedua, perang dunia terhadap pandemi Covid-19. Ketiga, adu cepat setiap negara untuk menemukan vaksin virus corona yang paling ampuh. Untuk urusan inipun Indonesia, bak pepatah, sampai terbang dan menuntut ilmu langsung ke negeri China.
Ketiga prahara tersebut sangat menentukan hajat hidup orang banyak di muka bumi ini. Namun, sudah adakah negara yang berhak mengklaim dirinya sebagai pemenang?
Entahlah, apakah memang perlu menerapkan strategi menang-kalah dalam menghadapi pandemi global yang disebabkan corona ini? Bukankah yang justru harus dibangun adalah semangat kerja sama, sinergi, kolaborasi, dan kooperasi agar wabah ini dapat segera berlalu?
Soal perang adu cepat ini, Sang Maha Guru sudah memperingatkan. “Kita bisa saja memenangkan peperangan. Namun pasokan senjata dan semangat juang para tentara akan semakin berkurang jika kita terlalu banyak menghabiskan waktu dengan percuma.”
Demikian Sun Tzu dalam karya klasiknya yang masyhur, The Art of War. Akibatnya, menurut dia, kondisi keuangan negara akan terganggu jika kerajaan diserang hingga akhirnya terjadi peperangan.
“Peperangan harus segera diselesaikan. Operasi militer yang hebat akan berlangsung cepat agar peperangan bisa segera berakhir.”
Cermati saja kata-kata filsuf China kuno itu. ‘Harus segera diselesaikan’. ‘Operasi militer yang hebat’. ‘Keuangan negara akan terganggu’. ‘Terlalu banyak menghabiskan waktu dengan percuma’.
Siapa yang tidak beranggapan bahwa semua kondisi tersebut menggambarkan dinamika global saat ini? Ekonomi banyak negara porak-poranda diterjang badai corona. Krisis meluas.
Setelah semua negara berjuang untuk menekan jumlah angka kasus positif Covid-19, kini medan laga bergeser cepat untuk berpacu menemukan vaksin virus corona.
Bisa dikatakan bahwa pada umumnya tidak ada musuh dalam perang yang bisa menguntungkan sebuah negara. Namun satu doktrin berikut agaknya tak dapat diganggu-gugat: Kunci utama memenangkan peperangan adalah kecepatan.
“Jika tentara musuh tidak melakukan persiapan dengan baik, kita harus bisa menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin.”
Sun Tzu ada benarnya. Dan itu sudah terlihat hari-hari ini.
Dalam dunia bisnis, bertahan merupakan hal mendasar dan diperbolehkan dalam prinsip manajemen. Adapun manajemen menyerang itu menggunakan berbagai cara yang tidak dilakukan lawan dan memanfaatkan kelemahannya (Clayton Christensen, 1997).
Bila berpatokan pada pandangan pakar manajemen modern tersebut, perusahaan yang bertahan saja selama bertahun-tahun akan segera mengalami kejatuhan. Sementara, perusahaan yang cepat bermunculan seperti Google, Twitter, dan Facebook bisa menguasai dunia dalam waktu singkat.
Alhasil pada abad ini, terutama di era Covid-19, tidak tepat juga sekadar menerapkan strategi bertahan. Bukankah kita sedang berperang?
Ujungnya adalah bahwa nasib perusahaan dapat dibedakan dari strategi yang diterapkan: Menyerang atau bertahan.
Pebisnis global rasanya tak asing dengan dua kata kunci itu. Baik dalam sepak bola maupun bisnis, seseorang harus bisa menang dan sukses. Menyerang untuk menang!
“Menyerang itu cara untuk mendapatkan kemenangan. Brasil terkenal di seluruh dunia berkat kekuatan dan strategi sepak bola menyerangnya yang tidak diragukan lagi,” ujar Lee Kun Hee, mantan pemimpin puncak Samsung (Kim Byung-Wan, 2012).
Tunggu dulu, siapa tahu Anda mempunyai strategi yang lebih jitu.