Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Hery Trianto

Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia

Menggemari jurnalisme sejak sekolah menengah. Saat kuliah mengambil Jurusan Ilmu Komunikasi dan menggarap media kampus, sebelum berlabuh ke Bisnis Indonesia hingga menjadi pemimpin redaksi sejak Januari 2017 sampai sekarang.

Lihat artikel saya lainnya

Haryanto, Hary Tanoe & Keseimbangan Bisnis

Saya tidak terlalu mengerti seni rupa. Kemampuan hanya pada sebatas menikmati keindahan karya, komposisi warna, dan bentuk. Namun, ketika tiba-tiba di meja saya datang sebuah kiriman katalog Museum Macan: Seni Berubah, Dunia Berubah, perhatian tersedot untuk menikmati satu demi satu halaman hingga akhir.

Saya tidak terlalu mengerti seni rupa. Kemampuan hanya pada sebatas menikmati keindahan karya, komposisi warna, dan bentuk. Namun, ketika tiba-tiba di meja saya datang sebuah kiriman katalog Museum Macan: Seni Berubah, Dunia Berubah, perhatian tersedot untuk menikmati satu demi satu halaman hingga akhir.

Pada halaman pengantar, saya me­­ne­­mu­­kan nama Haryanto Adikoesoemo (56), pemilik kelompok Usaha AKR Cor­­p­orindo. Pria rendah hati ini, pewaris bisnis ayahnya Soegiarto Adikoesoemo (81), pengusaha kimia dan perminyakan asal Surabaya yang pada 2017 masuk da­­lam daftar orang terkaya di Indonesia urutan ke-25 versi Majalah Forbes de­­ngan harta US$1,2 miliar.

Karena keawaman tadi, maka hanya beberapa saja yang saya kenal dari isi katalog, karya Raden Saleh, Singa Me­­nyerang Seorang Penunggang yang Memegang Tombak di Atas Kuda Hitam Hitam yang Berderap. Saya juga lihat be­­berapa lukisan Hendra Gunawan, dari corak dan warna cat mencolok. Se­­bagian besar karya Hendra kini dikoleksi oleh pengusaha Ciputra.

Tulang punggung koleksi Museum Macan, adalah karya yang dikumpulkan oleh Haryanto selama lebih dari 25 tahun.

Seni Berubah, Dunia Berubah adalah sebuah tinjauan berupa 90 karya dari koleksi berisi 800 karya.

Pilihan ini, tutur Direktur Museum Macan Aaron Seeto, adalah karya yang me­­­mandang Indonesia sebagai landasan dasar dengan mengikutsertakan se­­niman-seniman dari seluruh dunia.

Sebagai koleksi pribadi, ia juga dapat dipandang sebagai ketertarikan pemiliknya, dalam hal ini Haryanto.

Belakangan, kita semua tahu, Museum Macan membetot perhatian publik. Para pesohor datang, dari penyanyi Bunga Citra Lestari hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Mereka berfoto lalu menggunggahnya melalui media sosial.

Efek unggahan viral dan kemasan unik museum menjadi ikon tempat yang keren, menyebabkan euforia pengunjung untuk datang. Museum ini memiliki desain interior bergaya kontemporer, serta membuatnya menjadi institusi pertama di Indonesia yang areanya dibuat khusus untuk museum.

Macan, kependekan dari Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara, menjadi perwujudan visi Haryanto yang telah dibentuk selama satu dekade. Pria ramah ini memang telah lama bercita-cita mendirikan sebuah ruang seni permanen di Jakarta, yang terbuka untuk publik dan menjadi sarana mengamati dan mendiskusikan karya-karya seni bertaraf internasional, seniman, dan peran penting seni di kawasan Asia Tenggara.

Sampai kemudian saya bertemu langsung Haryanto dalam sebuah kesempatan langka; bersamanya terbang dari Jakarta menuju Palu pada 4 Oktober 2018, enam hari setelah musibah Gempa melanda Sulawesi Tengah. Siang itu, Haryanto mengisi lambung pesawat pribadinya yang berkapasitas 400 kilogram, dengan sekitar 500 paket makanan dari restoran cepat saji.

Di Palu, Haryanto mendistribusikan makanan itu kepada warga, selain memantau pasokan Solar yang dikirim oleh AKR Corporindo dari Depo Minyak Bitung, Sulawesi Utara. Palu yang masih dalam kondisi darurat, memang perlu banyak uluran bantuan dari berbagai pihak.

Sepanjang perjalanan, saya mencoba mengorek cerita dari Haryanto tentang Museum Macan, koleksi seninya, juga perkembangan bisnis AKR Corporarindo. Dengan fasih dia bercerita soal seni, dan bagaimana menikmati karya adalah sebuah cara lari dari kepenatan hidup, melepas stres, dan mendapatkan kepuasan batin.

Haryanto juga bercerita soal pameran baru yang akan dibuka lagi untuk publik pada 17 November 2018. Museum Macan, katanya, akan tampil dengan karya-karya baru untuk memuaskan penasaran publik dan apresiasi terhadap karya seni. Salah satunya adalah persembahan Lee Mingwei: Tujuh Kisah.

Menikmati seni, bagi Haryanto, adalah bagian upaya mendapatkan keseimbangan hidup sebagai pengusaha dan pebisnis. Seni dan bisnis, baginya adalah dua sisi mata uang yang harus berjalan seimbang,

Haryanto, yang menjadi Direktur Utama PT AKR Corporindo Tbk. sejak 1992, telah membawa perusahaan keluarga menjadi perusahaan publik. AKR adalah satu-satunya perusahaan swasta yang mendapatkan izin untuk menjual bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan kini setidaknya mengoperasikan 250-an stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).

AKR juga telah menjalin kerja sama dengan BP Global—perusahaan minyak asal Inggris—untuk membangun 350 SPBU dalam 10 tahun kedepan. Untuk tahap awal, kolaborasi ini baru merambah dua kota, yakni Jakarta dan Surabaya.

Selama ini, AKR mendistribusikan BBM melalui 9 pelabuhan laut dan 6 pelabuhan sungai di lima pulau utama di Indonesia yakni Jawa, Sumatra, Bali, Kalimantan dan Sulawesi. Perusahaan publik ini memiliki tangki penyimpanan BBM dengan kapasitas 666.000 kiloliter.

Namun, saat ditanya lebih lanjut bagaimana mengelola bisnis dan apa saja yang telah dilakukannya hingga membawa perusahaan keluarga sampai di titik sekarang, Haryanto mengalihkan ke topik lain.

Dia mengaku kurang menyukai publikasi, dan lebih senang menjadi dirinya yang sekarang, pengusaha penyuka karya seni. “Saya rasa banyak yang jauh lebih baik daripada saya. Banyak pengusaha yang lebih sukses dan mengoleksi lebih banyak karya seni, seperti Pak Ciputra,” tuturnya.

***

Pada kesempatan lain, saya bertemu dengan pengusaha Hary Tanoesoedibjo, pemilik jaringan media terbesar di Asia Tenggara di bawah panji MNC Group. Dia hadir di tengah-tengah Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional 2018, di Nusa Dua, Bali.

Westin Nusa Dua, salah satu hotel miliknya dengan 450 kamar, ketika itu disewa oleh penyelenggara pertemuan untuk disulap menjadi kantor. Westin merupakan pusat dari pertemuan, dan seluruh kamarnya diubah menjadi kantor yang disediakan untuk seluruh delegasi dari 189 negara anggota.

Hajatan menjadi berkah bagi pengusaha seperti Hary Tanoe, maupun bagi pemilik hotel di kawasan Nusa Dua dan sekitarnya. Sebanyak 36.000 delegasi pertemuan hadir. Bahkan, Hary Tanoe mengaku, harus menyewa hotel lain untuk menginap selama berada di Bali.

Tidak seperti tipikal pengusaha keturunan China yang alergi dengan urusan politik, Hary Tanoe bahkan mendirikan partai politik. Dia adalah Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo) salah satu kontestan baru dalam Pemilu 2019.

Kali ini dia menghadapi tantangan yang cukup berat dalam menjalankan dua organisasi sekaligus; bisnis dan politik. “Saya kerja keras sekali, namanya juga nyambi-nyambi. Tantangannya ke depan adalah bagaimana regenerasi ini bisa cepat terjadi. MNC Group ini kan menjalankan bisnis secara grouping yang bergerak di beberapa lini.”

Dia juga mengaku, sejak aktif di politik, beberapa unit bisnis MNC terpengaruh, diantaranya mengalami penurunan omzet. Namun, itulah tantangannya, menjadikan organisasi yang tidak tergantung pada pemimpin tertinggi saja.

Sebagai politisi anyar, Hary Tanoe tak mau main-main dan kehilangan momentum, Baginya waktu adalah penting, lalu diiikuti kerja keras tanpa henti sampai tujuan tercapai. Dia mencontohkan saat mengambil momentum mengembangkan bisnis pada 1998-1999, saat banyak perusahaan tiarap.

Menurutnya, praktis waktu itu medan kompetisi datar, karena banyak perusahaan tiarap. Itu menjadi momentum. Jika ditambah dengan kerja keras, dan persistence, MNC Group bisa seperti sekarang. Ini—kira-kira—berlaku juga pada petualangan Hary Tanoe di dunia politik.

Bisa dibilang, Hary Tanoe memang tengah menuju keseimbangan baru dalam hidupnya. Apalagi dia telah merasa sukses dalam meraih tujuan-tujuan bisnis, dan kini beralih ke tujuan berikut, politik.

Namun, dia menyakini prinsip tidak mudah menyerah sebelum mencapai tujuan harus diterapkan dalam berpolitik dan berbisnis. Orang tidak pernah tahu, proses untuk mencapai ke titik seperti saat ini butuh banyak pengorbanan.

Pada akhirnya, waktu yang akan menguji pilihan hidup seorang Hary Tanoesedibjo, juga Haryanto Adikoesoemo. Hasil baik, biasanya berasal dari sebuh proses baik. Setiap pilihan, tentu saja membawa konsekuensi masing masing.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hery Trianto
Editor : News Editor

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper