Dua orang yang berjalan bersisihan ini punya masa lalu yang mirip. Masa lalunya sama-sama pahit. Jokowi kecil mengalami digusur sampai tiga kali. Jack Ma tidak. Tapi jalan hidup Jack Ma tak kalah pahit. Pernah melamar kerja, dari semua pelamar yang mendaftar, cuma dia yang ditolak. Pernah mengajukan beasiswa sampai sepuluh kali, tidak pernah berhasil.
Pada suatu titik, mereka memiliki jalannya sendiri-sendiri. Tapi dalam pilihan yang berbeda itu, mereka menimba pelajaran yang sama. Mereka sama-sama mengolah kepahitan-kepahitan hidup yang dialami, dan memproyeksikannya dalam suatu ruang hidup yang berdialektika. Jatuh bangun lagi. Gagal coba lagi.
Jokowi belajar dari orang tuanya yang menjual bambu dan kayu menjadi pengusaha kayu sampai punya Rakabu. Sementara Jack Ma mendirikan Alibaba.
Dua orang itu, juga punya kemampuan berbahasa Inggris standar dengan dialek medhoknya masing-masing. Jokowi mengasah kemampuan berbahasa Inggrisnya dari para pembeli asing mebel-mebelnya dari dari pameran dagang di luar negeri yang diikutinya. Jack Ma, malah belajar bahasa Inggris dari turis asing asal Australia yang datang ke negerinya, yang kemudian mengangkatnya menjadi anak angkat.
Dua orang itu, kemudian menemukan jalannya sendiri-sendiri. Jalan hidup Jokowi bergeser, dari bisnis ke politik. Jack Ma, sampai hari ini, tetap setia dengan bisnisnya. Tapi jangan ditanya pengaruh politiknya. Bahkan dalam skala sebesar negeri Tiongkok, pengaruh Jack Ma sangat luar biasa.
Apa buktinya?
Jika Jokowi memimpin Indonesia menyelenggarakan Asian Games untuk kali kedua, Jack Ma meminta pemimpin negerinya untuk menjadikan kota pusat Alibaba sebagai kota penyelenggara Asian Games setelah Jakarta dan Palembang. Hang Zhou namanya. Di kota inilah imperium bisnis Jack Ma dikendalikan dan menguasai bisnis digital, bukan hanya di daratan China melainkan buana.
Memang menarik belaka jalan hidup mereka berdua. Tak heran jika bukan pertama kali ini mereka bertemu dan berbicara satu sama lainnya. Di forum yang berbeda, mereka saling bicara, mungkin tanpa sekalipun bicara soal masa lalu mereka yang sama-sama pahit.
Jika menelusuri obrolan mereka yang merembes ke berbagai media, mereka memilih bicara tentang masa depan. Jack Ma belajar dari Jokowi menjadi tuan rumah yang sukses dalam Asian Games. Jokowi belajar dan menimba ilmu, bagaimana mengembangkan bisnis digital di masa depan buat Indonesia.
Yang pahit-pahit tiada lagi terselip dalam obrolan dan pembicaraan. Ke mana perginya yang pahit itu? Entahlah. Tak tahu rimbanya. Ia mungkin telah terkubur bersama lalunya waktu, menjadi fondasi dan batu penjuru menjalani kehidupan yang sama sekali baru.
Jika hidup kita pahit di masa lalu, mungkin saja kita bisa seperti mereka itu. Tapi jika sampai hari tua kita masih juga merasa pahit menjalani hidup, barangkali kita memang tak punya cukup waktu untuk mengunyah dan menelan yang pahit itu.
Ia tetap bersarang di mulut, lalu kepahitan-kepahitan hidup di masa lalu itu menyumbat mulut, dan tumpah ruah dalam caci-maki dan sumpah serapah. Mungkin saja mencaci maki atau menyumpahserapahi mereka berdua. Entah karena politik, atau ketidaktahuan, atau kebencian, atau rasa iri hati, atau ikut-ikutan. Bahkan sampai tidak tahu sebab musababnya mengapa bisa begitu.
Sementara mereka berdua tengah menikmati teh manis di beranda belakang istana berudara sejuk.