JAKARTA, Bisnis.com—Perhelatan Asian Games 2018 terlihat makin seru. Persaingan perebutan medali, terutama emas, menjadi tontonan menarik.
Sebagai tuan rumah, Indonesia sudah mampu melampaui target perolehan 16 emas dan masih terus berjuang untuk merebut lebih banyak.
Berbicara soal olahraga, prestasi dan infrastruktur pendukungnya tak dapat dipisahkan. Bila dipersempit lagi, infrastruktur ini bolehlah disematkan pada perlengkapan olahraga.
Tak ayal, olahraga memang sudah menjelma menjadi industri. Dan kita bisa belajar banyak dari legenda-legenda industri perlengkapan olahraga ini.
Masih segar dalam ingatan saat laga Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Saat itu, Adidas yang berhak tampil dengan produk andalannya. Bahkan ada nama khusus yang diberikan bagi bola sepak resmi selama laga dunia itu, yakni Jabulani. Empat tahun berikutnya di Brasil, perusahaan ini menggolkan lagi si kulit bundar resmi bernama Brazuca.
Sayang, Adolph Dassler tidak bisa menyaksikan langsung kehebatan bola sepak buatan Adidas. Dassler, yang lebih senang disapa Adi, tak lain adalah perintis perusahaan pemasok produk olahraga tersebut.
Ketenaran nama Adidas dimulai ketika pada awal era 1930-an di sebuah kota kecil di Jerman, Herzogenaurach, Dassler mendengar tentang seorang pelari jarak pendek Amerika yang kelak sangat melegenda, yaitu Jesse Owens. Saat itu Owens tengah menyiapkan diri untuk ambil bagian di Olimpiade Berlin.
Adapun Dassler dan kakaknya, Rudolph, juga sedang sibuk membuat sepatu olahraga di bengkel kecil mereka di Middle Franconia.
Sang adik bereksperimen dengan bahan-bahan baru, termasuk kulit ikan hiu dan kanguru untuk sepatu lari. Dari berbagai inovasinya ini, kakak beradik itu kelak mengumpulkan ratusan paten.
Naluri bisnis Dassler yang tajam membawanya untuk mendekati Owens. Dia langsung menawari pelari kulit hitam itu sepasang sepatu lari khusus untuk dipakai berlomba. Ini dilakukan jauh sebelum era para olahragawan dunia mendapatkan sponsor-sponsor dan kontrak-kontrak dengan nilai menggiurkan.
Owens dengan senang hati menerima tawaran gratis dari Dassler. Sejarah kemudian mencatat bahwa pelari Amerika itu menyabet empat medali emas di Olimpiade Berlin pada 1936. Dunia juga kemudian mengetahui betapa kesalnya Hitler terhadap Owens.
Selepas upaya coba-coba yang membuahkan sukses tersebut, Dassler bersaudara mendapatkan ide yang kelak menjadi landasan perusahaan pembuat pakaian olahraga terbesar di dunia.
Mereka dengan susah payah berhasil melewati masa-masa Perang Dunia II. Namun sayang kemitraan Dassler dan kakaknya terputus. Kongsi pun pecah. Pada 1948 keduanya terlibat konflik yang kemudian menjadi terkenal. Akar persoalannya, menurut banyak catatan mengenai mereka, adalah perbedaan paham soal ideologi Nazi.
Buntut dari pertengkaran itu, Rudolph mengambil separuh dari mesin-mesin pembuat sepatu. Bermodal mesin rampasan itu, dia mendirikan sebuah bisnis baru yang bermarkas di tepi Sungai Aurach. Usahanya diberi nama Puma. Sementara, sang adik juga tak mau kalah. Dia mengibarkan bendera bernama Adidas.
Tidak seperti logo swoosh milik Nike yang dirancang oleh seorang mahasiswa desain, logo tiga strip Adidas awalnya demi kepraktisan saja yaitu membantu mendukung lengkung kaki.
Rudoplh dan Dassler saling berebut pengaruh untuk menggaet para atlet guna mengenakan sepatu buatan mereka, sebuah strategi yang makin lama kian sukses karena peristiwa-peristiwa olahraga tidak pernah sepi dari liputan televisi.
Pada 1954 Adi melakukan terobosan penting dengan ‘mempersenjatai’ tim sepakbola Jerman Barat di ajang Piala Dunia. Tentu saja tim Panzer diberi kado sepatu jenis baru yang memiliki pul yang dapat dilepas dan bukan sepatu sepakbola biasa yang dicetak melekat pada sol.
Seperti mengulang kesuksesan bersama Owens di Olimpiade Berlin, Piala Dunia 1954 membuat Adi bisa ternyum lebar. Pasalnya, pada laga final yang dilangsungkan dibawah kondisi hujan, tim Jerman Barat sengaja memasang pul khusus pada sepatu mereka dan mengalahkan Hungaria. Itulah momen ketika Jerman Barat untuk pertama kalinya menjuarai Piala Dunia.
Kelancaran bisnis Dassler sedikit banyak juga dibantu oleh putranya, Horst. Pendiri Adidas itu memiliki lima anak, yaitu empat perempuan dan seorang cowok. Istrinya, Kathe, juga membantunya di markas besar dan kemudian menjalankan bisnisnya sendiri setelah mereka cerai pada 1978.
Horst memang sangat diandalkan oleh ayahnya. Menurut sebuah laporan, ketika dia dikirim oleh Dassler untuk membagikan sepatu pada Olimpiade Melbourne 1956, dia dikabarkan menyogok para pekerja pelabuhan untuk menghentikan bongkar muat sepatu Puma.
Kuasai Arena
Pada 1960, Adidas bisa dibilang sudah menguasai Olimpiade karena sekitar 75% atlet yang bertanding di trek atau lapangan mengenakan sepatu dengan merek tersebut. Pada Olimpiade Munich 1972, semua ofisial bahkan mengenakan Adidas. Begitu pula mayoritas atlet. Daftar bintang yang didukung Adidas bertambah panjang dengan keikutsertaan pelompat tinggi Dick Fosbury, pesenam dunia Nadia Comaneci, dan petinju Muhammad Ali dan Joe Frazier yang saling adu jotos pada 1971.
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa Adidas merupakan merek premium di zaman itu. Tidak ada atlet untuk menolak untuk mengenakan produk olaharaga keluaran perusahaan tersebut. Hal ini tidak terlepas dari kegigihan Dassler melobi Komite Olimpiade Internasional, sehingga bisa menjamin status Adidas sebagai pemasok resmi.
Ketika Dassler meninggal pada 1978 di usia 78 tahun dalam status belum pensiun, Horst langsung mengambil alih kemudi manajemen. Putra sang pendiri ini tidak memerlukan waktu lama untuk mengukuhkan dirinya sebagai Godfather di bidang olahraga.
Pakar manajemen dan pemasaran umumnya mengakui bahwa Horst mengembangkan pengaruh yang luar biasa besar pada begitu banyak badan olahraga. Salah satu pengaruh yang terasa hingga kini adalah badan-badan tersebut terlihat semakin profesional dalam memaksimalkan peluang komersial mereka melalui sebuah perusahaan pemasaran yang didirikan Horst.
Sepeninggal Horst pada 1987, Adidas harus melalui ujian zaman. Para saudara perempuannya terlibat konflik mengenai arah perusahaan. Akibatnya, penguasaan pasar mereka tergerus. Dari pencapaian tertinggi dengan menguasai 70% pangsa pasar sepatu olahraga di AS, Adidas dengan cepat terhuyung-huyung. Nike, pesaing utamanya, tidak menyia-nyiakan kondisi lawan yang sedang goyah. Begitu hebatnya goncangan tersebut sehingga memaksa sebuah bank Prancis pada 1992 untuk mencari investor untuk menyelamatkan Adidas.
Menjelang tahun 2000 kondisi mulai membaik. Sebagian kalangan berpendapat keberuntungan juga berperan. Dengan kembalinya retro sebagai tren di pertengahan 1990-an, Adidas merilis ulang lini koleksi klasik tempo dulu. Tak dinyana, ternyata laris manis.
Pesaing utama dibuat terkejut karena saat itu justru sedang fokus pada pada inovasi berteknologi tinggi.