Bisnis.com, JAKARTA - Pelemahan harga minyak dunia tidak membuat PT Pertamina Gas alias Pertagas melempem dalam menjalankan bisnisnya. Anak usaha PT Pertamina (Persero) itu justru berencana menggelar ekspansi di sejumlah proyek percontohan.
Terbatasnya infrastruktur jaringan gas di dalam negeri menjadi alasan utama bagi perusahaan untuk melakukan ekspansi setiap tahunnya. Tujuannya, seluruh gas yang diproduksi di dalam negeri dapat sampai ke seluruh konsumen.
Hendra Jaya, Presiden Direktur Pertagas, mengatakan perusahaan yang dipimpinnya sedang mengembangkan kilang gas alam cair atau liquified natural gas (LNG) skala kecil bersama Pertamina Hulu Energi di Lapangan Simenggaris dan wilayah remote lainnya.
Mini LNG Plant itu akan dibangun dekat dengan sumur gas bumi agar dapat langsung mengubah gas yang dihasilkan. Pengubahan bentuk gas tersebut dilakukan agar gas bumi yang dihasilkan lebih mudah dibawa ke konsumen yang membutuhkan.
Pertagas juga sedang membidik peluang pasar gas bumi di wilayah timur Sumatra yang belum memiliki jaringan gas. Pertagas akan mencoba truk pembawa LNG untuk membawa gas dari fasilitas regasifikasi Arun ke konsumen di Sumatra bagian timur.
“Selama ini kan fasilitas pipa jaringan gas berada di sekitar Aceh bagian barat dan terus sampai Sumatra Utara, sedangkan Sumatra bagian timur masih belum ada pipanya. Ini akan kami manfaatkan dengan membawa gas menggunakan truk LNG,” katanya kepada Bisnis.com.
Pemanfaatan truk LNG ini juga akan dibarengi dengan pembangunan fasilitas regasifikasi di sejumlah titik tujuan. Dengan begitu, LNG yang dibawa dapat segera diubah kembali menjadi gas untuk di gunakan.
Untuk menjaga profit perusahaan, Hendra akan melakukan efisiensi agar dapat menekan biaya pokok yang harus dikeluarkan. Selain itu, perusahaan akan langsung mengoptimalkan sejumlah proyek yang selesai tahun ini, seperti pipa dari Belawan menuju Kawasan Industri Medan dan Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei, Grisik—Pupuk Sriwijaya, dan Porong—Grati.
Meski akan terus melakukan ekspansi, Hendra mengaku industri jaringan gas di da lam negeri bukanlah hal yang mudah. Pasal nya, pemerintah belum sepenuhnya memberikan dukungan agar perusahaan dapat membangun jaringan pipa secara masif.
Tidak adanya kepastian alokasi gas dari setiap proyek pipa open access yang dilelang pemerintah menjadi salah satu penyebab. Akibatnya, perusahaan enggan mengikuti lelang tersebut, karena tidak ada kepastian pengembalian investasi.
“Kalau kami menyelesaikan proyek pipa tanpa kepastian alokasi gas, maka akan ada beberapa saat pipa itu kosong. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri agar pelaku usaha mendapat kepastian pengembalian investasi,” ujarnya.
TANTANGAN INDUSTRI
Selain itu, setidaknya ada lima tantangan yang harus dihadapi pelaku usaha jaringan gas di Indonesia.
Pertama, penurunan harga minyak dunia yang ikut menekan harga gas, karena membuat selisih harga kedua energi itu menjadi lebih kecil.
Kedua, adalah minimnya peng gunaan bahan bakar gas untuk kendaraan, meskipun pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk menggenjotnya.
Ketiga, proyek 35.000 megawatt yang sebagian akan menggunakan gas sebagai sumber energi untuk pembangkitnya.
Keempat, terus meningkatnya kebutuhan gas domestik yang tidak diikuti dengan penambahan produksi gas di hulu.
Kelima, persoalan kompetisi pembangunan jaringan gas di dalam negeri, karena banyak perusahaan dari luar negeri yang menyatakan minatnya mengembangkan infrastruktur gas di Indonesia.
Dengan sejumlah ekspansi yang dilakukan Pertagas, Hendra berharap persoalan geografis antara sumber gas dengan konsumen tidak lagi menjadi masalah. Seluruh gas yang saat ini banyak diproduksi di Indonesia bagian timur harus dapat dibawa ke konsumen yang mayoritas berada di barat Indonesia.
Optimalisasi penggunaan gas juga diharapkan mampu menggantikan batu bara yang memiliki emisi lebih besar dibandingkan gas. Dengan begitu, masyarakat memperoleh lingkungan yang lebih bersih dari energi yang lebih murah dan efisien. ()