“Sikap terpuji Rama dan Barata juga menjadi teladan berharga bagi seluruh rakyat termasuk para elite politik. Bahwa sekeras apa pun konflik, bisa diredam dan diselesaikan jika dua belah pihak punya itikad baik.”
Publik seolah dibiarkan terus bertanya dan bertanya, ada apa sebenarnya di balik kisruh hubungan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian RI.
Melalui pernyataan sejumlah petingginya, Mabes Polri mencoba meyakinkan publik bahwa penangkapan terhadap pimpinan KPK Bambang Widjojanto adalah murni proses hukum.
Bambang ditangkap tidak lama setelah bersama dengan Ketua KPK Abraham Samad mengumumkan status tersangka bagi calon tunggal Kapolri Komjen Budi Gunawan. Pimpinan KPK pun menegaskan penetapan itu adalah murni proses hukum.
Menyusul dua kejadian itu, jagat politik Indonesia gegap gempita. Panas oleh pro dan kontra. Praktis energi para elite terkuras untuk urusan ini. Masalah terlihat runyam karena tidak ada tanda kegaduhan itu akan mereda dalam tempo segera.
Kocap Kacarita. Raja Ayodya Prabu Dasarata memiliki tiga istri yakni Dewi Kausalya, Dewi Kekayi, dan Dewi Sumitra. Dari garwa padmi atau istri pertama lahir Raden Ramawijaya, dari istri kedua lahir Raden Barata, dari istri ketiga lahir Raden Laksmana.
Sesuai dengan praktik ketatanegaraan Ayodya, Ramawijaya adalah pewaris tahta. Namun, Dasarata mengingkari aturan itu karena terikat janji pada Kekayi. Janji itu terucap saat dia meyakinkan Kekayi agar mau menjadi istri kedua.
Kekayi bersedia diboyong ke Ayodya dengan syarat kelak kalau anaknya lahir laki-laki harus menjadi raja. Sebuah syarat yang ganjil dan tidak lazim.
Dasarata telanjur kepincut pada keelokan rupa dan pekerti Kekayi. Mata dan hatinya sudah terbutakan oleh cinta. Atas nama asmara, ia melanggar tradisi dan tata pemerintahan. Ia sanggupi permintaan pujaan hatinya itu.
Dia sadar, keputusannya akan menyulut pro dan kontra. Pandangan orang pada dirinya akan berubah. Dasarata yang agung dan penuh kharisma, ternyata takluk oleh kerling mata wanita. Wibawanya akan hancur karena tidak sanggup mempertahankan sistem ketatanegaraan yang telah dibangun turun temurun.
Rakyat kecewa karena raja yang dipuja mencampakkan tradisi dan tatanan kenegaraan. Lebih kecewa lagi, karena rakyat sudah telanjur jatuh hati kepada Rama yang dipandang sebagai sosok cakap dan bijaksana. Rama adalah harapan masa depan rakyat Ayodya.
Karena keputusan itu pula, Dasarata sejatinya tengah menyulut sebuah konflik terbuka, yang mengancam keutuhan kerajaan. Ayodya di ambang bahaya.
Di sinilah semua mata terbuka tentang kebesaran hati dan jiwa Ramawijaya. Sedikit pun dia tidak mempersoalkan keputusan sang ayah. Ketika Dasarata wafat, dia persilakan Barata naik tahta.
Agar keberadaannya tidak mengganggu dan menyulitkan posisi Barata, dia legawa meninggalkan istana, hidup sebagai pengelana di hutan rimba bersama dengan istrinya Sinta dan adik bungsunya Laksmana.
Raja Sejati
Barata juga sadar dan membaca situasi dengan benar. Tidak sedikit pun tebersit di hatinya untuk bangga berlebihan dan menjadi arogan karenanya. Sebaliknya, dengan rendah hati dia memosisikan diri sebagai raja sementara. Ia sangat hormat pada sang kakak.
Dia mengejawentahkan sikap itu dengan meletakkan alas kaki Rama di singgasana. Dengan cara itu dia menyatakan secara terbuka bahwa raja sejati adalah Rama.
Saling respek dan saling hormat di antara Rama dan Barata menjadi penyejuk bagi rakyat, yang tersulut amarah akibat keputusan irasional Dasarata. Suasana politik yang sempat memanas, sontak menjadi sejuk dan dingin. Api dalam sekam yang siap membakar Ayodya, padam dengan sendirinya.
Sikap terpuji Rama dan Barata juga menjadi teladan berharga bagi seluruh rakyat termasuk para elite politik. Bahwa sekeras apa pun konflik, bisa diredam dan diselesaikan jika dua belah pihak punya itikad baik.
Sepanas apa pun situasi, selalu ada jalan untuk membuatnya menjadi sejuk dan dingin. Tidak membesar lalu membakar segalanya.
Setajam apa pun perselisihan, selalu ada titik temu jika semua pihak mengedepankan kepentingan yang lebih besar di atas kepentingan individu dan kelompok.
Berkaca pada Rama dan Barata, belum terlambat bagi para pimpinan Polri dan KPK untuk berihtiar bersama mengakhiri perbedaan dan konflik. Resepnya, kedepankan respek dan saling hormat, letakkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan kelompok.
Terus menghunus pedang dan memelihara dendam tidak akan menyelesaikan masalah. Justru menjadi energi negatif yang akan merusak secara permanen pondasi berbangsa dan bernegara. Upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, bebas dari korupsi, akan kembali ke titik nol.
Semangat permusuhan yang dipertontonkan para elite hanya akan menjadi teladan buruk bagi rakyat, termasuk generasi muda. Seolah-olah persoalan hanya bisa diselesaikan dengan saling mengalahkan, saling menjatuhkan, bahkan saling bunuh. Sungguh mengerikan. Sumangga.
Penulis:
Rohmad Hadiwijoyo
Dalang dan CEO RMI Grup