Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kisah Mendiang Lukminto, Pendiri Sritex Bangun Perusahaan Tekstil Terbesar di Asia Tenggara

Sritex tengah diterpa isu bangkrut, simak kisah pendirinya mendiang Lukminto
Kisah Lukminto, Mendiang Pendiri Sritex Bangun Perusahaan Tekstil Terbesar di Asia Tenggara/instagram sritex Indonesia
Kisah Lukminto, Mendiang Pendiri Sritex Bangun Perusahaan Tekstil Terbesar di Asia Tenggara/instagram sritex Indonesia

Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) tengah diterpa isu kebangkrutan setelah melepas ribuan karyawannya.

Namun, manajemen membantah hal tersebut dan mengatakan pihaknya memastikan keberlangsungan usaha masih berlanjut, kendati adanya proses efisiensi yang harus dilakukan sebagai langkah reorganisasi dan pemulihan kinerja keuangan perseroan.

Dia menerangkan bahwa di berbagai unit bisnis SRIL tekstil hingga garmen saat ini utilisasi kapasitas produksi tekstil mencapai 60-80%. Bahkan, pihaknya memastikan di unit garmen belum ada PHK.

Sosok di Balik Berdirinya Sritex

Mengutip buku "Bakti untuk Indonesia : HM Lukminto, Pendiri Sritex", menceritakan di balik perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara itu ada Lukminto, keturunan Tionghoa yang memiliki nama asli Ie Djie Shin.

Pria kelahiran Kertosono, Jawa Timur, 1 Juni 1946 itu menjalani masa muda yang pelik. Lukminto tidak tamat SMA lantaran setelah peristiwa G30S-PKI, pemerintah Orde Baru melarang segala sesuatu yang berhubungan dengan etnis China.

Akibat kebijakan itu, Lukminto yang kala itu masih duduk di kelas 2 SMA Chong Hua Chong Hui yang berbasis China harus berhenti sekolah karena sekolah Lukminto ditutup.

Pria yang lahir dengan nama Ie Djie Shin ini akhirnya mengikuti jejak kakaknya Ie Ay Djing atau Emilia yang telah lebih dulu berdagang di Pasar Klewer. Di sanalah dia mulai menginjakan kaki di dunia bisnis tekstil.

Orang tua Lukminto, Djie Sing You dan Tan Pik Giok memberikan modal Rp100.000. Uang tersebut terbilang besar pada waktu itu.

Dari modal itu, dia membeli kain belaco di Semarang dan Bandung. Kemudian menjualnya di Pasar Klewer, Pasar Kliwon, dan sejumlah pabrik batik rumahan dengan berkeliling sejak pagi hingga petang.

Setahun berselang, dia mengajak sang kakak untuk serius menekuni bisnis tekstil. Dari hasil berjualan keliling, Lukminto kemudian membeli dua unit kios di Pasar Klewer pada 1967.

'Dagang Textile Sri Redjeki, Kios EIX No. 12 dan 13'. Plang tersebut diabadikan di lobi kantor Sritex sampai saat ini dan menjadi cikal bakal nama Sritex.

Dia kemudian berupaya mematenkan nama tokonya. Namun karena nama Sri Redjeki sudah ada yang menggunakan, Lukminto menambahkan nama Isman untuk kiosnya saat akan dibuatkan akta notaris.

Toko yang didirikan bersama sang kakak kemudian semakin berkembang. Dia pun berpikir untuk membuat pabrik sendiri. Setahun setelah tokonya berdiri, dia akhirnya mendirikan pabrik di Baturono.

Di atas lahan seluas 1 hektare, Lukminto mempekerjakan sekitar 200 karyawan. Dari pabrik itu, bisnisnya melesat tajam. 

Pada 1978, dia membuka pabrik kedua di Sukoharjo dan pada 1990 tercatat seluruh produksi tekstil dan garmen telah terintegrasi.

Awalnya, Sritex tidak fokus untuk memproduksi tekstil militer. Namun, tekstil militer menjadi salah satu alasan yang membawa Sritex pada kesuksesan. Pada 1992, Sritex diminta menjadi penyedia logistik ABRI dalam pengadaan seragam prajurit.

Saat itu, Sritex meraup sukses di dalam negeri. Ketika itu pula, Lukminto ingin menembus pasar Eropa dengan membodik produksi tekstil untuk German Army.

Sritex terus berkembang, memproduksi seragam militer 30 Negara, seperti Jerman, Austria, Swedia, Belanda, dan Kroasia. Selain Eropa, Sritex juga membuat seragam militer bagi sejumlah negara di Timur Tengah, seperti Arab Saudi.

Tidak hanya seragam militer negara-negara di dunia. Sritex juga tercatat sebagai produsen seragam tentara organisasi pakta pertahanan negara-negara Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO).

Produksi seragam militer di Sritex bahkan sempat mencapai 50% dari keseluruhan produksi. Separuhnya lagi mereka memproduksi tekstil untuk fashion merek-merek terkenal di dunia seperti Uniqlo, Zara, JCPenney, dan Timberland.

Perusahaan yang didirikan oleh suami dari Sie Lee Hwie (Susyana) itu kemudian dicatatkan di pasar modal pada 17 Juni 2013. 

Setahun setelah mengantar Sritex IPO, H.M. Lukminto meninggal dunia karena penyakitnya di Singapura pada 2014. Namun perusahaannya tak berhenti dan bahkan terus berekspansi.

Saat ini, Sritex beroperask di lahan seluas 79 hektare di Sukoharjo. Selain dari Indonesia, Sritex juga mempekerjakan sejumlah tenaga profesional dari luar negeri, seperti dari Korea Selatan, Filipina, India, Jerman, dan China dan melayani sejumlah klien besar antara lain H&M, Walmart, K-Mart, dan Jones Apparel.

Bahkan, pada 2020, Sritex juga pernah berkontribusi besar pada upaya untuk mencegah penyebaran Covid-19. Perusahaan ini berhasil mendistribusikan 45 juta masker hanya dalam waktu tiga minggu. Pada tahun yang sama, untuk pertama kalinya, perusahaan ini mengekspor produknya ke Filipina.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Mutiara Nabila
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper