Bisnis.com, JAKARTA — Tatalogam Group telah menjadi salah satu nama perusahaan yang kini produknya diperhitungkan. Berkiprah di industri baja ringan sejak 1994, perusahaan yang dimulai dengan 4 orang karyawan itu berhasil memiliki sejumlah brand yang tak lagi asing seperti Multiroof, Suryaroof, Sakuraroof, hingga Taso.
Dalam wawancara virtual yang diunggah di situs resmi Tatalogam, Pendiri dan CEO Tatalogam Group Yarryanto Rismono memaparkan bagaimana jatuh bangun membangun bisnis tersebut.
Cerita dimulai dari pengalaman Yarryanto yang bekerja di sebuah pabrik seng di Jakarta selama 10 tahun. Selama bekerja dia sudah pernah mengemban amanah baik untuk bagian produksi dan pemasaran.
Dari pengalaman tersebut, Yarryanto memutuskan untuk membangun bisnisnya sendiri. Ide bisnisnya juga berawal dari keprihatinannya melihat atap seng gelombang yang karatan.
"Saya diskusi sama istri, dalam bisnis ini istri saya membawa banyak ide saya tukang jualannya. Akhirnya kami memutuskan membuat genteng metal tetapi waktu itu istri masih bekerja di perusahaan dan saya hanya dibantu 4 karyawan," katanya.
Yarryanto kemudian memutuskan untuk mengambil lahan di Cibitung yang nantinya akan dibangun menjadi pabrik perusahaan. Namun, karena keterbatasan modal produksi genteng metal pun harus dimulai tanpa bangunan pabrik.
Baca Juga
Singkat cerita, Yarryanto akhirnya memutuskan untuk mengikuti pameran besar di JCC. Kala itu agar produknya semakin dikenal. Untuk mengikuti pameran dia harus merogoh kocek hingga Rp15 juta padahal omset produksi kala itu masih berkisar Rp1-2 jutaan.
"Namun, akhirnya dari pameran saya mendapat order dari Kalimantan sebanyak 3 kontainer. Padahal waktu itu, kapasitas produksi kami untuk satu kontainer butuh waktu lebih dari satu bulan. Akhirnya dari sini kami juga mulai lakukan pengembangan pabrik untuk mengejar penyelesaian order tersebut," ujar Yarryanto.
Strategi lain yang dilakukan Yarryanto dalam pengembangan produknya yakni melakukan pemasaran secara langsung ke daerah-daerah dengan mengumpulkan para pemilik toko bangunan. Dari sana, dia mengaku cukup membuahkan hasil di mana pada awal merintis 90 persen pasar produk genteng metal Multiroof digunakan di luar Jawa.
Selanjutnya, Yarryanto mengaku produk ini mulai ramai dan lebih dikenal masyarakat pada periode pasca krisis 1998. Menurutnya, tantangan utama memasarkan genteng di Pulau Jawa kala itu, masyarakat yang sudah terbiasa menggunakan beton dan tanah liat.
"Tak hanya itu masyarakat di Pulau Jawa juga tidak menyukai genteng yang mengeluarkan bunyi tektek. Padahal kalau di Padang ada filsafah kalau mau rumah nyaman harus pakai genteng metal, makanya kami juga punya slogan kalau mau umur panjang pakai Multiroof," katanya.
Bagi Yarryanto kunci sukses pengembangan produk adalah inovatif. Terbukti genteng Multiroof yang memiliki dua susun waktu itu menjadi produk pertama hingga menerima paten karena belum ada yang membuat produk serupa. Dia bahkan menyebut kala itu genteng metal yang ada di Indonesia hanya satu susun dan berasal dari impor dengan merk yang terkenal yakni Decrabond asal New Zealand.
Kunci sukses lain tentunya menjaga kualitas produk. Yarryanto mencontohkan produk Multiroof misalnya, perseroan menggunakan lem yang paling kuat dan harus didatangkan dari Jepang.
"Lalu kalau bahan itu kami pakai Nexalume bukan yang biasa Galvanized karena mudah berkarat. Terbukti produk kami awet, bahkan ada yang menggunakan Multiroof hingga 25 tahun dan masih bagus," katanya.
Saat ini, Tatalogam memperluas bisnis dengan diversifikasi produk mulai dari genteng baja ringan berstandar nasional hingga rumah Domus atau pembangunan rumah yang hanya bisa dilakukan dalam waktu 5 hari saja.
Vice President Tata Metal Stephanus Koeswandi mengatakan di tengah tekanan krisis kesehatan yang saat ini juga masih berlangsung, perseroan masih mendapat berkah dari pasar ekspor yang terbuka. Tahun ini perseroan pun mengaku masih akan melakukan perluasan pasar guna mengimbangi kondisi permintaan domestik.
"Di mana ada bulan-bulan seperti Ramadan dan Lebaran yang harus diimbangi dengan penjualan di pasar luar negeri, untuk itu pengembangan volume ekspor yang lebih besar akan terus kami lakukan," katanya.
Stephanus mengemukakan meski demikian, hal itu tidak akan membelokkan fokus perseroan untuk mengutamakan permintaan domestik. Pasalnya, produk yang diekspor khusus untuk produk-produk standar premium.
Menurut Stephanus, hasil produksi yang diimpor pun hanya berkisar 10 persen dari total. Adapun salah satu negara yang telah disasar perseroan untuk perluasan pasar ekspor yakni Amerika Latin.
Paling penting, bagi perseroan kinerja yang baik pada masa pandemi ini bisa dilakukan dengan tanpa mengurangi atau melakukan PHK karyawannya.