Bisnis.com, JAKARTA -- Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia pada 2019 berjumlah 267 juta jiwa dan rata-rata meningkat 1,07% per tahun. Jumlah populasi yang besar dapat menjadi peluang dan tantangan. Peluangnya, Indonesia memiliki modal kuat untuk pembangunan yang berkelanjutan dan tantangannya adalah mengelola dampak yang timbul.
Salah satu dampak yang muncul dari meningkatnya jumlah penduduk adalah menggunungnya sampah. Estimasi jumlah sampah berdasarkan Jaktranas, pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga adalah 67,8 juta ton pada 2020 dan terus meningkat hingga 2025 menjadi 70,8 juta Ton.
Apabila tidak ada upaya untuk mereduksi jumlah dan mengelola sampah yang maksimal maka, jumlahnya akan terus meningkat.
Pengelolaan sampah saat ini mengalami beberapa tantangan, misalnya keterbatasan lahan untuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA), keterbatasan fiskal pemerintah daerah untuk pengelolaan sampah yang hanya 0,07% dari alokasi belanja idealnya sebesar 3%—4%, dan kepedulian pengelolaan sampah yang rendah. Kegagalan dalam mengatasinya akan berpengaruh terhadap meningkatnya risiko lingkungan dan sosial.
Upaya menghadapi tantangan pengelolaan sampah dan mereduksi sampah tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah, sehingga diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak seperti produsen, ritel, dan masyarakat. Kolaborasi perlu didesain agar tidak hanya menimbulkan suatu kewajiban tapi perlu disertai dengan ‘pemanis’ agar menumbuhkan semangat lain.
Setidaknya terdapat dua strategi melalui pendekatan kolaborasi untuk menyelesaikan masalah pengelolaan sampah. Pertama, mengurangi volume sampah pada level up stream (rumah tangga) dan middle stream (tempat pengelolaan sampah antara).
Tujuannya adalah mengurangi biaya pengelolaan sampah oleh pemerintah, sehingga tidak membebani kapasitas fiskal, memperpanjang masa operasional TPA dan memberikan dampak ekonomi yang positif bagi masyarakat.
Hasil penelitian Unilever dan SWI yang disampaikan pada Research Talk di JESSD International Symposium 2020, diketahui bahwa masyarakat di perkotaan Pulau Jawa menghasilkan sampah plastik sekitar 6.300 ton/hari atau 189.000 ton/bulan dan hanya sekitar 11,83% atau sekitar 22.000 ton/bulan yang dikumpulkan untuk didaur ulang.
Tingginya angka volume sampah plastik yang terkirim ke TPA mengakibatkan biaya pengelolaan sampah oleh pemerintah kian besar pula. Tantangan ini dapat diatasi sekaligus menjadi peluang munculnya circular economy di masyarakat.
Circular economy sendiri merupakan suatu sistem di mana sumber daya yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dioptimalkan penggunaannya untuk berada dalam proses waktu yang sangat panjang. Alhasil dapat menghemat pemakaian sumber daya yang terbatas dan tidak terjadi pencemaran lingkungan oleh limbah.
Rendahnya angka sampah plastik yang didaur ulang saat ini bisa menjadi celah untuk mengimplementasikan konsep circular economy di Indonesia dalam pengelolaan sampah plastik. Setidaknya 88,17% sampah plastik di Jawa berpotensi untuk didaur ulang dan sekaligus sebagai sumber pendapatan masyarakat serta pengembangan ekonomi berkelanjutan.
Upaya lain untuk mengurangi volume sampah pada level middle stream adalah melalui mekanisme bank sampah yang sudah banyak dilakukan masyarakat. Sistem bank sampah yang mendorong masyarakat untuk memilah sampah dari rumah dan mengumpulkannya untuk didaur ulang di level komunitas sejalan dengan budaya bangsa yang dikenal dengan kerukunan dan semangat gotong royong.
Kedua, pengelolaan sampah menjadi produk turunan sampah seperti listrik, kompos, gas dan Refuse-Derived Fuel (RDF). Hasil produk turunan sampah memungkinkan reduksi sampah, termasuk sampah plastik secara signifikan hingga 90% di TPA dan berpotensi mengurangi beban fiskal pemerintah.
Implementasi produksi RDF telah dilakukan DKI Jakarta di mana telah ditandatangani nota kesepahaman untuk pemanfaatan sampah menjadi bahan RDF alternatif bagi industri semen.
Dua strategi tersebut menitikberatkan pada kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan produsen, sehingga dapat membawa multiplier effect yang besar, baik dalam pengelolaan sampah maupun memberikan dampak positif bagi masyarakat.
Pertama, penghematan penggunaan anggaran pengelolaan sampah karena sampah yang dikirim ke TPA akan jauh berkurang dengan sebagian besar sampah akan dipilah pada level masyarakat melalui inisiasi bank sampah. Pengurangan sampah juga akan membuat masa operasional TPA akan lebih panjang dan penggunaan lahannya menjadi berkurang.
Kedua, peningkatan roda ekonomi baru di masyarakat. Merujuk pada Buku Panduan Sistem Bank Sampah dan 10 Kisah Sukses yang diterbitkan oleh Yayasan Unilever Indonesia, sampah plastik yang dikelola oleh bank sampah rata-rata 0,93 ton/bulan dengan pendapatan yang diterima rerata Rp2,3 juta/ton.
Meskipun saat ini hanya 22.000 ton/bulan sampah plastik yang didaur ulang oleh masyarakat perkotaan di Jawa, potensi perputaran ekonomi bagi masyarakat dari pengelolaan sampah plastik ini dapat mencapai Rp50,6 miliar/bulan.
Jumlah ini dapat semakin meningkat dengan potensi pemanfaatan 189.000 ton/bulan sampah plastik yang saat ini sebagian besar masih harus ditumpuk di TPA. Peluang bisnis ini akan menghantarkan keberlanjutan People, Planet, Profit (3Ps).
Keterlibatan produsen dan masyarakat diharapkan dapat memberikan peningkatan dari nilai sampah yang dipilah dan membuka jalur distribusi pemanfaatan hasil pemilahan sampah. Berbagai inisiatif dari produsen (consumer goods) dapat menjadi contoh motor yang kuat untuk meningkatkan model kolaborasi pengelolaan sampah.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Jumat (20/11/2020)