Bisnis.com, JAKARTA--Tahun anjing tanah 2018 sudah berlalu, kini tiba giliran tahun babi yang jatuh pada 2019. Namun, tahun ini juga dikenal sebagai tahun politik karena bakal dihelat pemilihan presiden dan wakil presiden.
Bagi investor di sektor komoditas, ada beberapa hal yang perlu dicatat menghadapi tahun ini. Supaya tidak terjerumus dan tetap meraih untung.
Menurut pakar feng shui, ada sejumlah komoditas yang patut dilirik dan dihindari pada 2019. Ahli fengshui Mas Dian mengatakan, berdasarkan perhitungannya, tahun ini merupakan tahun babi kayu.
Artinya, komoditas yang memiliki elemen kayu dan api akan beruntung. Namun, dia tidak merinci jenis-jenis komoditas yang dimaksud.
“Sifat alam di tahun ini kayu di tanah datar. [Di samping kayu dan api] lalu unsur air cukup baik juga,” ujarnya di sela-sela diskusi bertema Kemilau Emas di Tahun Babi 2019 di Hotel Ritz Carlton Kuningan, Jakarta, Jumat pekan lalu.
Bagi mereka yang mau berinvestasi di komoditas berlemen tanah, maka harus berpikir dua kali. Menurut Mas Dian, komoditas berlemen tanah kurang mujur pada tahun babi kayu ini.
Baca Juga
Oleh sebabnya, sebaiknya dihindari. Penulis buku Logika Feng Shui itu menjelaskan, unsur tanah pada tahun ini tidak beruntung.
Setidaknya hal itu dapat dilihat dari berbagai bencana alam yang terjadi belakangan ini. Semuanya berkaitan dengan tanah.
“Banjir dampak dari tanah yang longsor. Tsunami [di Banten] karena longsoran Gunung Anak Krakatau,” ujarnya.
Selain elemen-elemen tersebut, pria yang memiliki hobi melukis itu mengatakan, investor yang berinvestasi di komoditas berelemen logam, termasuk logam mulia butuh perjuangan ekstra.
Menurutnya berkaca pada beberapa tahun lalu, perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang ini harus berusaha keras untuk mendapat keuntungan.
“Pintar-pintarnya kita. Kalau mau bermain ini [investasi komoditas logam] harus tunggu dan lihat. Jangan lihat untungnya saja, tetapi risikonya juga harus diamati,” ujarnya.
Dia berpesan, jika berinvestasi maka harus pandai-pandai melihat peluang. Bisa saja, komoditas tersebut kurang beruntung pada tahun ini, tetapi jika mereka bisa melihat peluangnya maka bisa menghasilkan keuntungan lebih.
Sementara itu, menghadapi tahun politik, investor pun disarankan tetap kalem. Sebab, sejak pilpres secara langsung digelar pada 2004 hingga 2014, pasar tidak bergejolak oleh pesta demokrasi tersebut. Kunci suksesnya adalah pemilu-pemilu tersebut berjalan dengan damai.
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya berpesan kepada para investor untuk tidak terlalu mengkhawatirkan tahun politik.
Menurutnya, terjadinya pergolakan pasar di dalam negeri umumnya dipengaruhi oleh situasi global. Fakta itu dapat terlihat dari bagaimana tertekannya pasar di dalam negeri oleh perang dagang Amerika Serikat dan China.
Sedangkan jika dilihat dari pilpres 2014 dan pilkada serentak, Yunarto mengatakan, pasar tetap stabil. Menurutnya, respon tersebut karena pesta demokrasi tersebut berlangsung dengan damai.
“Ada rel yang berbeda [antara politik dan ekonomi]. Yang harus dilihat adalah rentannya ekonomi kita pada kondisi global,” ujarnya.
Meskipun demikian, Yunarto tak menampik situasi politik dapat saja mempengaruhi perekonomian. Namun dengan sejumlah catatan.
Jika ada salah satu calon presiden memiliki ambisi tertentu untuk mengubah sistem perekonomian nasional. Bila hal itu yang terjadi, maka pasar akan meresponnya dengan negatif.
Kemudian, meletusnya konflik berdarah bersifat nasional. Yunarto mengatakan, senadainya hal tersebut terjadi, maka membuat para investor kabur. Mereka tentunya akan memilih negara yang lebih aman.
Akan tetapi jika melihat kondisi terkini, Yunarto mengatakan, belum ada tanda-tanda tersebut muncul.
Dari sisi pilpres, menurutnya, baik calon presiden Joko Widodo maupun capres Prabowo Subianto tidak menunjukkan keinginan mengubah sistem perekonomian. Malah, kedua calon tersebut memiliki gagasan yang hampir sama.
Begitu pula dengan konflik berdarah. Hingga saat ini, Indonesia masih damai. Adapun, antara ‘kampret’ dan ‘kecebong’ hanya ribut-ribut di dunia maya.
Selebihnya dalam dunia nyata, tidak ada gesekan yang berarti. Bagi Yunarto bising-bising tersebut merupakan hal yang wajar.
Walaupun begitu, pengamat politik yang akrab disapa Mas Toto ini juga mengamati, investasi di segala bidang memperlihatkan kecenderungan wait and see.
Artinya para investor melakukan tindakan preventif. Mereka menunggu jangan sampai ada titik ekstrim dalam tahun politik ini. Jika akhirnya pesta demokrasi berjalan lancar, maka pasar berpotensi meresponnya dengan poositif.
“Polanya selalu pasca pemilu akhirnya going up. Kalau berani beli sekarang,” katanya.
Pendapat tak jauh berbeda diungkapkan oleh Fajar Wibhiyadi, Direktur Utama PT Kliring Berjangka Indonesia.
Menurut Fajar gejolak pasar pada tahun ini justru dipengaruhi beberapa faktor global. Antara lain, perang dagang antara Negeri Paman Sam dan Negeri Tirai Bambu dan kenaikan suku bunga The Fed.
Bila The Fed menaikkan suku bunga pada tahun ini, biasanya diikuti oleh kenaikan suku bunga Bank Indonesia.
Walhasil, suku bunga deposito perbankan juga akan ikut menanjak. Dengan demkian, para investor pun akan memilih berinvestasi di deposito karena iming-iming bunga yang tinggi. “Jadi yang banyak pengaruh adalah global,” katanya.