Bisnis.com, JAKARTA—Anda sudah siap-siap mudik? Atau jangan-jangan malah sudah sampai di kampung halaman?
Tak perlu malu disebut bangsa ‘kampungan’. ‘Kampungan’? Wong sudah jelas, jutaan orang Indonesia melakukan ritual tahunan yang disebut mudik atau pulang kampung untuk menyambut Idul Fitri bersama keluarga besar.
Siapapun dia, punya jabatan atau tidak, pembesar atau rakyat biasa, konglomerat atau pengusaha kecil, pulang kampung di hari-hari akhir puasa bisa dipastikan wajib hukumnya. Segala ketidaknyamanan di saat mudik seolah tidak terasa karena terlupakan atau terabaikan atau dikalahkan oleh perasaan suka cita ketika menginjakkan kaki di kampung halaman.
Kembali ke fitrah. Kembali ke asal. Kembali ke titik nol pergulatan jiwa kaum urban yang sehari-hari mengisi dinamika kehidupan kota-kota besar. Bagi pemudik, pulang kampung jelang Lebaran ibarat untuk mendapatkan tenaga baru (recharge). Di dalam diri mereka ada semacam kesadaran bahwa relung-relung jiwa perlu diingkatkan kembali tentang asal usul keberadaan insan dalam konteks sosial dan budaya. Karena itu, Idul Fitri di Tanah Air adalah budaya mudik itu sendiri dengan segala keunikannya.
Tapi, ‘ritual kampungan’ ini bukan hanya dimonopoli bangsa ini. Kalau ditelusuri, di era serba global ini ternyata masyakarat modern di belahan dunia manapun tetap mengenal yang namanya mudik. Ya, pulang ke desa, tempat kakek dan nenek tinggal. Yang membedakan mungkin waktu dan peristiwanya.
Beda China, Beda Vietnam
Di China misalnya, jutaan orang mudik menjelang tahun baru untuk ‘membersihkan’ jiwa yang kotor. Puncak dari kegiatan kolosoal ini adalah pesta lampion yang gemerlap di segenap pelosok, terutama di kota-kota besar. Mempersoalkan dana yang besar untuk membiayai ‘gelar budaya’ itu rasanya tidak relevan lagi, karena memang ‘wajib hukumnya’. ‘Ritual’ tersebut sudah diterima secara budaya.
Pemandangan yang kurang lebih sama lazim juga dijumpai di Vietnam meski dalam skala lebih kecil. Bahkan orang-orang Barat pun tidak bisa melepaskan ikatan emosi dan kejiwaan mereka dengan segala sesuatu yang serba ‘permai’ dan ‘asri’ di kampung halaman.
Kota-kota besar di AS dan sejumlah negara Eropa menjadi lengang karena ditinggal mudik para penghuninya menjelang hari besar perayaan agama. Kesibukan yang tidak tidak terlihat dalam urusan mudik di negara lain adalah memantau kesiapan transportasi dan infrastruktur jalan. Sebaliknya di Indonesia, ini merupakan menu wajib yang harus disantap sebuah pemerintahan. Buruklah reputasi pemerintah bila pemudik telantar dan merana. Penyebabnya bisa macam-macam. Kemacetan parah di jalur mudik, pesawat yang tidak kunjung terbang, kapal yang tidak kunjung melaut, bus antar kota yang sering mogok karena sudah tidak laik jalan.
Pemerintah pun harus memastikan bahwa kebutuhan sembako untuk menyambut Idul Fitri teratasi, jangan sampai ada kelangkaan yang membuat rakyat gusar. Bukankah dengan bekal THR kita boleh sedikit berlega hati untuk berbelanja agak longgar?
Luar biasa bukan? Tak heran presiden hingga ke menteri-menterinya, apalagi menteri perhubungan, tidak bisa santai-santai menjelang Lebaran. Rapat koordinasi atau sidang kabinet paripurna secara rutin digelar untuk memastikan segala sesuatunya tentang persiapan Idul Fitri berjalan lancar. Rapat saja belum cukup.
Sejumlah menteri harus rajin-rajin turun langsung ke lapangan untuk mengetahui fakta yang sebenarnya. Apakah pasok sembako aman, apakah jumlah penumpang kereta api terangkut semuanya, apakah jalur penyeberangan Merak-Bakaheuni lancar?
Hal yang tidak boleh dilupakan juga adalah penegakkan disiplin di musim peak season seperti libur panjang Idul Fitri ini. Bukan cerita baru bila sejumlah pengusaha transportasi darat suka mengambil aksi ambil untung diluar kewajaran terhadap pemudik. Tindak mereka sesuai aturan!
Di hari Lebaran, semuanya harus untung, jangan ada yang buntung.