Bisnis.com, JAKARTA — Kejayaan emiten tekstil Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) alias Sritex telah usai. Perusahaan tekstil terbesar di Indonesia itu bakal menghentikan seluruh operasinya mulai Sabtu, 1 Maret 2025.
Dengan ditutupnya perusahaan tekstil ini, ada lebih dari 10.000 karyawan terpaksa dirumahkan sejak 26 Februari 2025.
Isu kebangkrutan Sritex sudah terdengar sejak Juni 2024. Bisnis milik konglomerat Lukminto meredup dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah pandemi Covid-19.
Sempat memperoleh gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang alias PKPU, Sritex akhirnya dinyatakan pailit pada Oktober 2024.
Sosok di Balik Sritex
Sempat berjaya pada masanya, awal Sritex bermula dari HM Lukminto, pria keturunan Tionghoa kelahiran Kertosono, Jawa Timur, 1 Juni 1946, yang sukses menjadi pebisnis meskipun tidak tamat SMA.
Bukan tanpa alasan, Lukminto tak bisa melanjutkan pendidikan lantaran terhalang peristiwa G30S-PKI, di mana pemerintah Orde Baru melarang segala sesuatu yang berhubungan dengan etnis China.
Baca Juga
Untuk melanjutkan hidup, pria yang lahir dengan nama Ie Djie Shin ini kemudian mengikuti jejak kakaknya, Ie Ay Djing atau Emilia, yang sudah berdagang di Pasar Klewer. Langkah tersebut jadi awal mula Lukminto menginjakan kaki di dunia bisnis tekstil.
Bisnisnya diawali pada 1966 dengan modal Rp100.000 dari kedua orang tua Lukminto, Djie Sing You dan Tan Pik Giok. Namun, pada zaman itu, nilai Rp100.000 tentu bukan jumlah yang kecil.
Dari modal itu, dia membeli kain belaco di Semarang dan Bandung, dan kemudian dijual kembali di Pasar Klewer, Pasar Kliwon, dan sejumlah pabrik batik rumahan. Kala itu, dia menjual dengan cara berkeliling sejak pagi hingga petang.
Setahun berselang, dia mengajak sang kakak untuk lebih serius menekuni bisnis tekstil. Dari hasil berjualan keliling, Lukminto kemudian membeli dua unit kios di Pasar Klewer pada 1967.
'Dagang Textile Sri Redjeki, Kios EIX No. 12 dan 13' jadi nama toko pertamanya. Plang tersebut bahkan masih dipajang di lobi kantor Sritex.
Dia kemudian berupaya mematenkan nama tokonya. Namun karena nama Sri Redjeki sudah digunakan orang lain, Lukminto menambahkan nama "Isman" untuk kiosnya saat akan dibuatkan akta notaris.
Toko yang didirikan bersama sang kakaknya semakin berkembang. Dia pun berpikir untuk membuat pabrik sendiri. Setahun setelah tokonya berdiri, dia akhirnya mendirikan pabrik di Baturono di atas lahan seluas 1 hektare.
Saat itu, Lukminto sudah mempekerjakan sekitar 200 karyawan. Melalui pabrik itu pula, bisnisnya melesat tajam.
Pada 1978, dia membuka pabrik kedua di Sukoharjo dan pada 1990 seluruh produksi tekstil dan garmen di dua pabriknya telah terintegrasi.
Kiprah Sritex semakin gemilang, namanya mulai dikenal dan ditunjuk menjadi salah satu produsen tekstil militer.
Pada 1992, Sritex diminta menjadi penyedia logistik ABRI dalam pengadaan seragam prajurit. Saat itu, Sritex meraup sukses di dalam negeri.
Tidak langsung puas, Lukminto melihat peluang untuk menembus pasar Eropa dengan membidik produksi tekstil untuk German Army.
Sejak itu, Sritex terus berkembang hingga menjadi produsen seragam militer di 30 Negara, seperti Jerman, Austria, Swedia, Belanda, dan Kroasia. Selain Eropa, Sritex juga membuat seragam militer bagi sejumlah negara di Timur Tengah, seperti Arab Saudi.
Tidak hanya seragam militer negara-negara di dunia. Sritex juga ditunjuk menjadi produsen seragam tentara organisasi pakta pertahanan negara-negara Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO).
Produksi seragam militer di Sritex krmudian menjadi sumber penghasilan utama dengan pangsa mencapai 50% dari keseluruhan kapasitas produksi. Separuhnya lagi mereka memproduksi tekstil untuk fashion merek-merek terkenal di dunia seperti Uniqlo, Zara, JCPenney, dan Timberland.
Hingga pada 17 Juni 2013, Lukminto membawa perusahaan tersebut untuk melantai di Bursa Efek Indonesia. Namun, setahun setelahnya H.M. Lukminto meninggal dunia karena penyakitnya di Singapura pada 2014.
Namun perusahaannya tak berhenti dan bahkan terus berekspansi dan beroperasi di lahan seluas 79 hektare di Sukoharjo.
Sebelum mulai tumbang, pada 2020, Sritex pernah berkontribusi besar pada upaya untuk mencegah penyebaran Covid-19. Perusahaan ini berhasil mendistribusikan 45 juta masker hanya dalam waktu tiga minggu. Pada tahun yang sama, untuk pertama kalinya, perusahaan ini mengekspor produknya ke Filipina.
Sritex kemudian jatuh ke tangan anak HM Lukminto, Iwan Lukminto, putra sulung almarhum H.M. Lukminto, yang mendirikan grup Sritex pada tahun 1966 dengan toko batik di Solo.
Di samping usaha tekstil, Grup Sritex juga memiliki sekitar 10 hotel di Solo, Yogyakarta, dan Bali, termasuk Holiday Inn Express di Bali.
Selain itu, perseroan juga menaungi perusahaan kertas, Sriwahana Adityakarta, yang telah tercatat di Bursa Efek Indonesia.
Mengutip Forbes, saat ini kekayaan Iwan Lukminto tercatat mencapai US$515 juta atau setara dengan Rp8,52 triliun.