Bisnis.com, JAKARTA – Membatik bukan hanya perkara menorehkan lukisan pada kain dengan menggunakan canting. Tergambar filosofi dan cerita pada sehelai kain, termasuk menonjolkan ciri khas dari daerah mana batik itu berasal. Hal ini yang dilakukan Santi Budi Lestari, penemu batik Tapanuli Selatan sejak 2016.
Semula batik memang lekat dengan estetika budaya Jawa, yang fungsinya digunakan pada saat kelahiran, pernikahan, hingga kematian. Dalam keseharian, batik digunakan oleh para pekerja kantoran, Aparatur Sipil Negara (ASN) hingga anak sekolah. Hal ini turut menjadi inspirasi Santi warga Kampung Pasir, Kelurahan Aek Pining, Kecamatan Batangtoru, Tapanuli Selatan ini dalam berkarya.
“Saya melihat peluang pada 2016, di Tapsel belum ada pengrajin batik yang punya motif khas. Ketika itu saya ingin membuat batik dengan corak alam Tapsel yang kaya ini,” kata perempuan berusia 34 tahun itu kepada Bisnis, Kamis (16/3/2023).
Saat merintis usaha, Santi banyak mengikuti berbagai pelatihan di kota Medan. Setelah dirasa memiliki bekal keterampilan yang cukup, Santi mulai memproduksi batik di rumahnya sendiri dan merekrut karyawan secara bertahap. Kini ia dibantu oleh enam pembatik perempuan dari daerah tempatnya tinggalnya.
Pada 2018, Santi menegaskan legalitas usahanya dengan mendirikan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Batik Tapsel. Kemudian, KUB Batik Tapsel mengikuti program pendampingan oleh Bank Indonesia, Dinas Perdagangan dan KUKM Tapanuli Selatan. Dari situ, Santi dan karyawannya diperkaya lagi dengan berbagai teknik membatik hingga strategi pemasaran.
Lewat berbagai pameran, Santi pun memperkenalkan motif batik Tapsel mulai dari kopi sipirok, bintang dan bulan, Dalihan Na Tolu hingga lambang-lambang adat Tapanuli Selatan lainnya. Alhasil, pesanan batik dari luar daerah mulai berdatangan.
Baca Juga
“Sebanyak 85 persen pelanggan kami memang dari Tapanuli Selatan, sisanya dari Kota Medan, Labuhanbatu, Sibolga, bahkan sampai Cikarang di Jawa,” jelas Santi.
Dalam keadaan normal, Santi mengaku dapat memproduksi 30 kain per minggu, sehingga dapat mencapai 100 kain per bulan. Jumlah produksi tergantung pesanan dan permintaan produk turunan seperti baju jadi ataupun tas tangan wanita.
Harga per kain dibanderol Rp185.000 hingga Rp250.000. Pada akhirnya, Santi dapat mengantongi omzet sekitar Rp100 juta hingga Rp120 juta per tahun.
“Jadi selain membantu ekonomi keluarga, saya juga berupaya memberdayakan perempuan-perempuan di sekitar Tapsel ini,” jelas dia.
Tahun ini, Santi memiliki cita-cita untuk mendirikan rumah produksi yang sesuai standar, termasuk standar pengolahan limbah. Rumah produksi ini dapat membantunya untuk memproduksi beraneka ragam kain dengan pewarnaan alam sehingga lebih banyak variasi yang dapat ditawarkan kepada pelanggan.
Karyawan PT Agincourt Resources (PTAR) mendampingi pengrajin batik Tapanuli Selatan/Dok.Perusahaan
Pada 2021, PT Agincourt Resources (PTAR), anak usaha PT United Tractors Tbk. (UNTR), sekaligus pengelola tambang emas Martabe di Batangtoru, Tapsel ikut serta melakukan pembinaan untuk KUB Batik Tapsel.
Manager Community Development PTAR Rohani Simbolon mengatakan, sasaran dari pemberdayaan pengrajin batik Tapsel ini adalah keterlibatan perempuan dalam peningkatan ekonomi, sehingga perempuan mempunyai daya tawar (power) di masyarakat.
“Lewat pembinaan ini, PTAR melakukan pembinaan melalui peningkatan kapasitas pemasaran dan akses. Saat ini pemasaran masih di pasar domestik,” jelasnya.
Saat ini, program pembinaan PTAR sudah melibatkan 15 orang termasuk 6 pembantik dan 9 orang untuk produk turunan batik. Tak hanya sampai pembinaan saja, PTAR juga sedang mendampingi proses pendaftaran karya batik Tapsel di Dirjen Kekayaan Intelektual untuk mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).