Bisnis.com, JAKARTA--Majalah bisnis dan finansial Amerika Serikat, Forbes mencatat, dengan mengutip hasil survei Harvard Business School, sekitar 94% profesional bekerja lebih dari 50 jam per minggu.
Artinya dalam lima hari per pekan seorang pekerja menghabiskan sekitar 10 jam per hari. Waktu tersebut belum termasuk dengan durasi perjalanan dari rumah sampai kantor.
Hasil survei Uber dengan Boston Consulting Group pada tahun 2017, pengemudi di Jakarta menghabiskan 68 menit di jalan raya dan 21 menit untuk mencari tempat parkir setiap harinya. Dengan demikian, banyak pekerja di Jakarta setidaknya menghabiskan separuh harinya untuk mencari kesejahteraan.
Tak ayal, menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan sosial menjadi isu lama yang kerap dibahas kaum urban. Frasa ‘no-life’ dewasa ini sering digunakan milenial untuk mendeskripsikan waktu luang yang telah tiada akibat padatnya rutinitas harian.
Lazimnya, banyak orang mencoba mencari solusi dengan menerapkan work-life balance atau keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan. Penganut paham itu melakukan pekerjaan dan kehidupan secara berimbang dan bergantian. Waktu pun menjadi tantangan bagi mereka.
Menurut Executive Vice President Credit Card BRI PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Wibawa Prasetyawan, di tengah sempitnya waktu bagi profesional di kota besar, menjadi sulit untuk memisahkan antara pekerjaan dan kehidupan sosial.
Baca Juga
“Seharusnya yang terjadi adalah work-life integration, di mana kehidupan dan pekerjaan itu saling terintegrasi bahkan bisa saling menyokong tanpa perlu bergantian, bahkan menghilangkan satu sama lain,” jelas pria kelahiran 1973 di Klaten, Jawa Tengah ini.
Satu metode yang dia gunakan untuk mengimplementasikan hal tersebut adalah menjadikan teman kerja sebagai bagian dari keluarga. Hal itu bisa dilakukan dengan menyusun kegiatan yang melibatkan teman kantor dan keluarga dalam satu waktu.
Pria yang akrab disapa Iwan ini melanjutkan bahwa beberapa kali dia mengadakan open house, sepeda bersama, hingga piknik bersama dengan rekan-rekan kantornya.
“Tidak jarang keluarga datang menjemput ke kantor sembari ngobrol dengan teman kantor saya,” katanya.
Membangun hal tersebut bukan perkara mudah. Pasalnya, perasaan canggung masih sangat kental antara bawahan dan atasan. Selain itu, menjadikan mitra kerja sebagai teman bermain juga masih agak sulit di Indonesia.
“Makanya gerakan ini harus dimulai dari manajemen atas, sehingga staf tidak merasa canggung,” tutupnya.