Sydney Harris mengatakan, “Yang perlu kita takutkan sebenarnya bukanlah mesin yang bisa berpikir seperti manusia, tapi manusia yang cara berpikirnya seperti mesin.”
Baru-baru ini, saya mengajar di sebuah perusahaan digital. Betul-betul lingkungan kerjanya nenarik, 90% milenial. Perusahaannya baru 2 tahun. Tapi pertumbuhannya sangat menjanjikan. Maka, pada kesempatan awal, saya pun bertanya kepada mereka,
“Guys, kalau sudah digital semua, apakah kita masih perlu kecerdasan emosional (EQ)? Kan udah digital? Mesin sudah bisa menggantikan peran manusia.” Obrolan terjadi, tapi kita sepakat bahwa justru pekerja digital, makin butuh EQ. Penyebabnya, karena ‘unsur kemanusiaan’ makin langka.
High Tech, High Touch
John Naisbitt telah meramalkan dalam bukunya High Tech, High Touch. Makin canggih teknologi, makin diperlukan sentuhan rasa. Tampaknya, hal ini akan semakin terjadi. Robot dan mesin, akan semakin murah. Tapi tenaga manusia akan menjadi semakin mahal.
Di negara-negara maju, sentuhan manusia sudah lebih langka. Juga lebih mahal. Sebagai contoh, hal yang sederhana, cuci mobil saja misalnya. Jauh lebih murah mencuci dengan mesin cuci mobil. Tetapi, kalau mau dicuci dengan tenaga manusia, harganya lebih mahal.
Baca Juga
Di negara-negara maju, tenaga manusia telah diakui lebih mahal daripada mesin. Sebab manusia memang lebih berharga. Sementara itu, di negara-negara berkembang, tenaga manusia memang masih berlimpah. Kita belum merasakannya. Tapi, pasti akan segera menyusul.
Era Industri 4.0
Saat ini semua orang bicara soal pengaruh era industri 4.0. Semua sektor bisnis mulai mengalami dampaknya. Bisnis tradisional, mulai kosong. Toko mulai tutup. Manusia diganti oleh mesin. Sistem tradisional berubah menjadi sangat digital. ‘Brick and mortal’, yang kasat mata berubah menjadi online, maya. Anda bisa nggak punya produk atau aset tampak apapun, tapi bisa kaya raya. Uh, sesuatu yang aneh bin ajaib!
So, kembali ke pertanyaan dengan segala trend digital ini, bagaimana EQ masih diperlukan?
Paling tidak, masih ada empat alasan yang membuat mengapa EQ tetap akan dibutuhkan di era industri 4.0 ini.
Pertama, emosi itu akan makin langka. Secanggih-canggihnya sistem artificial intelligence (AI) yang kini berusaha meniru manusia termasuk emosinya, masih belum bisa menggantikan sepenuhnya. Saya ambil contoh, beberapa waktu lalu saya ditunjukkan sistem konseling yang sangat pandai yang bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan dengan cerdas. Anda tinggal mengetik, dan aplikasi ini akan merespon. Pertanyaan dan komentar Anda direspon dan dikomentari, tetapi pada akhirnya kita tahu yang menjawab adalah mesin.
Kita pun melihat di film-film science fiction. Mesin dan aplikasi yang bisa menasihati dan diajak bicara. Kelihatannya keren. Dan tampaknya dunia mungkin akan bergerak ke sana. Namun, sehebat-hebatnya mesin seperti itu, kita tahu bahwa mesin ini hanya menunjukkan fungsi, tapi bukan emosi. Setidaknya, bukan emosi nyata.
Maka berbahagialah ketika emosi yang nyata masih bisa kita rasakan. Juga masih bisa kita lihat dan dapatkan dari interaksi kita. Kemungkinan besar, segala perasaan positif seperti rasa cinta, kasih, bahagia, damai, akan semakin jadi komoditas yang mahal. Bahkan segala sistem digital akan berusaha mensimulasi dan menggantinya.
So, sungguh kita berbahagia ketika masih bisa merasa dan memperoleh berbagai emosi dan perasaan itu dalam diri dan interaksi kita.
Kedua, makin rindu dilayani secara tulus.
Dalam obrolan saya dengan seorang team leader perusahaan digital itu, dia berkata, “Orang masih rindu dilayani manusia, daripada mesin.” Bener juga. Mungkin, mesin bisa dibuat untuk bisa senyum, tetapi hanya manusia yang bisa senyum dengan tulus.
Bayangkan, Anda melihat mesin yang bisa tersenyum kepadamu, bahkan bisa menangis. Tapi sehebat-hebatnya, tetap saja kita memerlukan ketulusan.
Tim Sanders, penulis buku L-Factor mengatakan, sincerity (ketulusan) sebagai salah satu faktor yang membuat mengapa orang disukai. Nah, dengan mesin kita tidak bicara soal ketulusan, tapi ketepatan. Padahal, kembali lagi ke soal terapi dan konseling berdasarkan berbagai jurnal psikologi, ternyata salah satu yang menolong seorang pasien dan klien menjadi sembuh adalah adanya ketulusan. Ketulusan dari si penolong dan terapisnya.
Alasan ketiga, mesin itu efisien, tapi belum tentu efektif. Efektivitasnya manusia, justru karena bisa lebih fleksibel. Setuju nggak?
Enaknya dengan mesin adalah semua jadi serba cepat dan serba efisien. Fast service. Fast result. Mesin nggak ada capeknya. Cuma, kalau ada masalah yang tidak sesuai, mesin menjadi sangat rewel. Mereka terlatih untuk hal yang ‘benar’ atau ‘salah’. Itulah yang membuat mesin jadi sangat efisien.
Saya jadi ingat kejadian yang baru-baru ini terjadi. Seorang ibu hamil stuck di pintu mobil tol. Ia nggak bisa lepaskan sabuk pengaman. Padahal ia perlu scan kartu tolnya. Lama banget. Mobil-mobil tak sabar mulai klakson tanpa tahu apa yang terjadi. Untungnya, tiba-tiba ada petugas kebersihan yang mendatanginya. Dan akhirnya dengan bantuan petugas itu, jalanan bisa lancar kembali.
So, ternyata dengan sistem yang efisien, sentuhan manusia tetap dibutuhkan. Salah satunya afalah karena fleksibilitasnya. Manusia, mungkin kalah efisien kalau sudah menyangkut sistem. Tapi tetap saja manusia dibutuhkan khususnya kalau menghadapi situasi yang tak terduga.
Alasan keempat, mesin tidak bisa kompromi dengan yang gaptek. Hanya manusia yang bisa memahami dan mencoba toleransi dan sabar menjelaskan saat orang bilang, “Saya nggak paham, tolong aku dibantu dong!” Mesin menjadi unggul karena ketepatannya tapi itu pula yang membuat mesin menjadi sangat rigid.
Di kejadian yang lain. Ada seorang nasabah di sebuah bank. Bank ini ceritanya menerapkan sistem baru, sistem online. Dan si nasabah ini ternyata punya masalah yang tidak ada di sistem online. Berkali-kali ia memencet. Ia merasa seperti dipingpong dengan menekan angka 1, 2 dan lainnya, di tombol teleponnya. Lama-lama ia pun menjadi sangat kesal dan ingin bicara dengan seseorang di bank itu yang bisa menolongnya. Tapi, tak ada. Sampai-sampai, ia terpikir menarik dananya.
Makanya tulisan kali ini, saya mau tutup dengan nasihat dari Jack Ma. Kita mengenalnya sebagai founder dari berbagai sistem online yang keren-keren. Tapi, menariknya ia sendiri masih percaya, di era sekarang, EQ tetap dibutuhkan. Malah makin dibutuhkan, menurutnya. Tapi nasihat yang diberikan Jack Ma menarik. “Justru janganlah coba unggul di mana mesin bisa lebih unggul. Tapi aspek-aspek EQ, adalah aspek di mana mesin tidak mungkin unggul.”
Ayo, di era industri 4.0, mari kita makin cerdas emosi!
Anthony Dio Martin adalah CEO HR Excellency & Miniworkshopseries Indonesia, penulis, executive coach, host di radio bisnis SmartFM.