BISNIS.COM, JAKARTA—Amerika Serikat (AS) dan Jepang masih dipandang sebagai raksasa perekonomian global hingga saat ini.
Kedua negara tersebut juga memiliki cara masing-masing untuk keluar dari krisis finansial global.
Mark Matthews, Managing Director Senior Advisor Head of Research Asia dari Julius Baer Group Ltd. melakukan penelitian untuk mengambil pelajaran dari daya tahan perekonomian Jepang dan AS di tengah tren resesi finansial dunia.
Bisnis berkesempatan untuk mewawancarai Matthews pada Senin (13/5) dan membahas dampak dari kebijakan ekonomi kedua negara bagi Asia, khususnya Indonesia, serta persaingan Jepang dan China sebagai negara berekonomi terkuat di kawasan. Berikut petikannya.
Bagaimana Anda memandang perekonomian Amerika Serikat dewasa ini?
Perekonomian AS didominasi oleh sektor jasa. Sebesar 85% perekonomian AS berada di sektor nonmanufaktur, seperti perbankan, telekomunikasi, makanan dan minuman, properti, dan sebagainya.
Selama 40 bulan terakhir, indeks purchasing managers (PMI) AS pada sektor jasa berada di atas 50. Di samping itu, AS tercatat sebagai negara dengan produksi manufaktur terbesar ke-4 di dunia.
Sementara banyak orang berpikir sebagian besar barang tidak lagi dibuat di AS dan telah beralih ke China, manufaktur di AS justru mengalami penguatan.
Salah satu alasannya adalah karena upah tenaga kerja di China mulai naik belakangan ini.
Beberapa perusahaan lebih memfokuskan pada kualitas ketimbang kuantitas produk.
Mereka juga mulai berpikir jika memproduksi barang di China, mereka akan kehilangan kekayaan intelektual.
Hal lain yang mempengaruhi penguatan produksi manufaktur AS adalah menurunnya krisis energi selama beberapa tahun terakhir.
Biaya listrik dan transportasi di AS kini menjadi lebih murah.
Bayangkan, untuk mengirim barang dari China ke AS dibutuhkan waktu selama 5 pekan, ditambah waktu yang dihabiskan untuk mengurus bea cukai di Los Angeles selama 1 pekan.
Jika Anda membuat barang di AS, barang tersebut akan sampai pada konsumen hanya dalam 2 hari.
Bagaimana dengan Jepang?
Jepang sedang fokus dengan kebijakan moneternya.
Dalam 2 tahun ke depan, Jepang akan menyuntikkan lebih banyak uang ke pasar melalui pembelian obligasi.
Hal tersebut berarti cadangan uang Jepang akan menjadi jauh lebih tinggi daripada AS.
Ini adalah hal besar yang sedang dilakukan oleh Jepang. Ketika Jepang mengumumkan kebijakan pelonggara moneter, nilai yen merosot tajam.
Ketika nilai yen jatuh, perusahaan-perusahaan Jepang memiliki kesempatan untuk meraup lebih banyak keuntungan.
Perusahaan-perusahaan Jepang seperti Toyota menjual produk mereka ke seluruh dunia.
Jadi, ketika mereka meraup pendapatan luar negeri dalam bentuk euro atau dolar atau bahkan rupiah, mereka akan membawanya kembali ke Jepang.
Di Jepang, nilai dari mata uang asing tersebut menjadi jauh lebih besar karena melemahnya yen.
Orang akan berpikir nilai yen telah merosot terlalu jauh, sehingga tidak dapat diturunkan lebih lanjut lagi.
Namun, menurut saya, yen masih bisa melemah lebih jauh lagi.
Jika Jepang terus menggandakan jumlah uang dalam sirkulasi kecuali jika European Central Bank (ECB), Federal Reserve, dan bank
sentral lain juga melakukan hal yang sama—yen pasti akan melemah.
Akibatnya, harga saham di Jepang akan terus meningkat. Tingkat kepercayaan konsumen di sana juga akan meningkat.
Seberapa jauh kebijakan Bank of Japan tersebut membawa pengaruh terutama di Asia termasuk Indonesia?
Jepang adalah negara dengan perekonomian terbesar kedua di Asia, dan juga negara dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia.
Jika perekonomian Jepang membaik, itu akan membawa dampak positif bagi negara-negara tetangganya.
Bagi Indonesia, itu berarti Jepang akan memperbanyak aktivitas bisnis di sini.
Jepang telah melalui masa-masa sulit selama bertahun-tahun, perekonomian mereka tidak mengalami ekspansi secara signifikan.
Kita tidak melihat banyak turis Jepang berkunjung lagi.
Namun, jika perekonomian Jepang mulai membaik, mereka akan menjadi lebih aktif baik di dalam maupun di luar negeri.
Itu adalah hal yang bagus bagi Indonesia. Terdapat semacam persaingan antara Jepang dan China saat ini.
Kedua raksasa Asia itu berupaya memperluas pasar di kawasan Asia Tenggara.
Apakah hal tersebut baik bagi negara-negara Asean?
Menurut saya, ada begitu banyak konsekuensi yang tidak diinginkan dari adanya persaingan kedua negara.
Jika terjadi eskalasi ketegangan antara Jepang dan China, konsekuensi pertama yang akan terjadi adalah angka kelahiran di Jepang akan meningkat.
Hal tersebut pernah terjadi pada era Perang Dunia II.
Dampak bagi Asean sendiri, negara-negara Asia Tenggara akan menjadi lebih kuat sebagai sebuah entitas.
Karena negara-negara Asean, termasuk Indonesia, menyadari bahwa mereka lebih kuat jika bersama-sama.
Jadi, meningkatnya ketegangan antara Jepang dan China jutsru akan menjadikan Asean lebih solid dan kohesif.
Bicara soal krisis finansial global, bagaimana Anda melihat pengambilan kebijakan dalam mengatasi krisis zona euro?
Eropa memiliki cara pandang yang berbeda dengan Jepang maupun AS. Secara historis, mereka menganggap pasar finansial adalah hal yang korup.
Sejak dahulu, Eropa didominasi oleh kaum aristokrat yang memandang rendah pada kaum kapitalis.
Sikap seperti itu sedikit banyak masih diwarisi hingga sekarang, terutama di Jerman dan Prancis, tetapi tidak di Inggris.
Para pembuat kebijakan di Eropa memiliki pendekatan yang berbeda dengan AS terhadap pasar finansial.
Seperti yang terjadi di Spanyol dan Yunani, di mana orang-orang menarik uang mereka dari bank ketika terjadi krisis.
Komisi Eropa lantas menyadari jika mereka tidak melakukan sesuatu, hal tersebut akan berubah menjadi bencana.
Tahun lalu, [Presiden ECB] Mario Draghi berjanji untuk mengatasi krisis, dan orang-orang mulai percaya dan mengembalikan uang mereka ke bank.
Setelah pemilu Jerman pada 22 September mendatang, ECB kemungkinan akan membeli kredit macet dari bank-bank di negara-negara kecil di zona euro.
Sejauh ini, tidak ada campur tangan yang drastis dari pemerintah untuk mengatasi krisis di Eropa. (ra)
MARK MATTHEWS: Asia Tenggara Akan Lebih Kuat
BISNIS.COM, JAKARTA—Amerika Serikat (AS) dan Jepang masih dipandang sebagai raksasa perekonomian global hingga saat ini.Kedua negara tersebut juga memiliki cara masing-masing untuk keluar dari krisis finansial global.Mark Matthews, Managing Director
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Wike Dita Herlinda
Editor : Rustam Agus
Topik
Konten Premium